Saturday 1 December 2012

ADMINISTRASI SARANA DAN PRASARANA


BAB I
Pendahuluan

1.1.Latar Belakang
Bila kita memasuki lembaga pendidikan (sekolah) atau dunia pendidikan, pasti kita akan menemui beberapa unsur warga sekolah seperti kepala sekolah, guru, siswa, penjaja kantin, satpam, dan sebagainya. Selain itu kita juga menemui beberapa unsur seperti laboratorium, perpustakaan, media/alat pembelajaran, bangunan sekolah, ruang kelas dan lain-lain. Peralatan-peralatan itu bisa dikatakan sebagai bagian dari sarana dan prasarana dalam dunia pendidikan. Sarana dan prasarana bisa menjadi wahana untuk mendukung ataupun menunjang dalam proses pencapaian tujuan.
Berkaitan dengan hal itu, dikotomi antara sarana dan prasarana bisa dikatakan sangat berguna bagi peserta didik. Dikatakan sarana karna secara esensial dikatakan sebagai alat langsung untuk mencapai tujuan, sebaliknya prasarana bisa dikategorikan sebagai alat tidak langsung untuk mencapai tujuan pendidikan. Kedua komponen ini tidak akan absen dalam suatu lembaga pendidikan. Bila lembaga pendidikan tidak mempunyai salah satu komponen ini bisa dikatakan lembaga pendidikan (sekolah) itu pincang secara fisik.
Adanya administrasi sarana dan prasarana pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk menunjang atas tercapainya suatu tujuan dari pendidikan itu. Keberadaan administrasi sarana dan prasarana ini boleh dikatakan sebagai penentu dalam mendukung proses kegiatan belajar mengajar. Sebagaimana juga yang didukung di dalam Pasal 45 UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas yang mengharuskan adanya pengelolaan sarana dan prasarana di dalam satuan pendidikan, baik formal maupun informal.
Sejalan dengan fakta itu, pada makalah ini penulis akan menjelaskan apa itu sarana dan prasarana dalm pendidikan dan bagaimana fungsi-fungsi serta peran dari sarana dan prasarana tersebut.


1.2. Rumusan Masalah
Agar menghindari pelebaran pembahasan, dan sesuai dengan judul yang tertera di atas,  penulis akan membahas dan merumuskan beberapa poin yang berkaitan dalam pembahasan ini, yaitu:
1.      Apa itu sarana dan prasarana pendidikan?
2.      Bagaimana fungsi dari administrasi sarana dan prasarana ?
3.      Bagaimana fungsi dan peranan Sarana dalam proses KBM? 
4.      Bagaimana peranan guru dalam administrasi sarana dan prasarana pendidikan?
1.3 Tujuan
Melalui pembahasan dalam makalah ini penulis bertujuan agar menambah khazanah intelektual kita tentang seluk beluk cakupan dari administrasi sarana dan prasarana. Selain itu adanya makalah ini untuk memenuhi tugas kelompok dalam mata kuliah Administrasi Pendidikan.
Secara esensial sarana dan prasarana mempunyai kedudukan yang strategis dalam pendidikan. Sehubungan dengan hal itu, wajib bagi kita mahasiswa yang sedang diarahkan untuk menjadi bagian dari tenaga pendidik, untuk mengerti akan hal ini (sarana dan prasarana). Setidaknya paham dengan fungsi dan peranannya. Sehingga bila nanti kita terjun ke dalam dunia pendidikan kita tidak canggung lagi dalam memaksimalkan berbagai sarana maupun prasarana yang ada.
1.4 Manfaat
Diharapkan melalui makalah ini dapat memberikan dan menambah pengetahuan atau wawasan berpikir kita mengenai administrasi sarana dan prasarana. Menurut kami hal ini sangat penting, karena bisa lebih mengenali dan mengerti lebih dalam mengenai fungsi dan peran dari sarana dan prasarana dalam pendidikan.



BAB II
Pembahasan

A.     Apa itu Sarana dan Prasarana Pendidikan?
Daryanto di dalam bukunya Administrasi Pendidikan (2010: 51), mengatakan bahwa sarana seperti alat langsung untuk mencapai tujuan pendidikan. Misalnya seperti, ruang, buku, perpustakaan, laboratorium dan sebagainya. Senada dengan Daryanto, menurut E. Mulyasa, sarana pendidikan itu adalah peralatan dan perlengkapan yang secara langsung dipergunakan dan menunjang proses pendidikan, khususnya proses belajar, mengajar, seperti gedung, ruang kelas, meja kursi, serta alat-alat dan media pengajaran.[1] Lebih spesifik, menurut Tim Penyusun Pedoman Pembakuan Media Pendidikan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yang dimaksud dengan sarana pendidikan adalah semua fasilitas yang diperlukan dalam proses belajar-mengajar, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak agar pencapaian tujuan pendidikan dapat berjalan dengan lancar, teratur, efektif dan efisien.[2]
Bila dilihat dari perundangan, maka menurut Keputusan Menteri P dan K No. 079/1975, sarana pendidikan terdiri dari 3 kelompok besar yaitu:[3]
a.      Bangunan dan perabot sekolah.
b.      Alat pelajaran yang terdiri, pembukuan dan alat-alat peraga dan laboratorium,
c.       Media pendidikan yang dapat dikelompokkan menjadi audiovisual yang mengggunakan alat penampil dan media yang tidak menggunakan alat penampil.
Berbeda dengan sarana, disini prasarana dilihat secara etimologis yang berarti alat tidak langsung untuk mencapai tujuan. Dalam dunia pendidikan misalnya seperti, lokasi atau tempat, bangunan sekolah, lapangan olahraga, uang dan sebagainya.[4] Sejalan dengan hal itu, Ibrahim Bafadal mengatakan bahwa prasarana pendidikan adalah semua perangkat kelengkapan dasar yang secara tidak langsung menunjang pelaksanaan proses pendidikan di sekolah.[5]
Bila dilihat dari payung hukumnya, sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang tercantum dalam Pasal 45 Tentang Sarana dan Prasarana Pendidikan, yang tertulis di ayat 1 yaitu setiap satuan pendidikan formal dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik.
Sedangkan standar sarana dan prasarana dalam setiap satuan pendidikan telah tercantum dalam PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dalam Pasal 42:
1.      Setiap satuan pendidikan wajib memilik sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.
2.      Setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolah raga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat berkreasi, dan ruang/tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.

Jadi dari uraian ini dapat ditarik benang merahnya yaitu bila yang dimaksud dengan sarana dalam dunia pendidikan ialah berkenaan dengan segala bentuk fasilitas atau perlengkapan yang selalu berkaitan secara langsung dengan aktifitas dalam kegiatan mengajar supaya untuk mencapai tujuan pendidikan dapat berjalan efektif, efisien dan lancar, bisa seperti, alat peraga, buku, media penunjang, laboratorium dan sebagainya. Kebalikan dengan pengertian sarana, maka prasarana dapat diartikan sebagai alat tidak langsung untuk mencapai tujuan, atau dalam proses pendidikan di lembaga sekolah, seperti, lokasi atau tempat, lahan atau bangunan sekolah, lapangan olahraga, taman sekolah, dan sebagainya. Dan juga sarana dan prasarana pendidikan ini didukung secara hukum oleh UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas dalam Pasal 45, maupun Keputusan Menteri P dan K No. 079/1975 bahkan ditegaskan lagi melalui PP No. 19 Tahun 2005 dalam Pasal 42.
B. Fungsi Administrasi Sarana dan Prasarana
Selain memberi makna penting bagi terciptanya dan terpeliharanya kondisi sekolah yang optimal, maka administrasi sarana dan prasarana sekolah berfungsi sebagai:
a. Memberi dan melengkapi fasilitas untuk segala kebutuhan yang diperlukan dalam proses belajar mengajar.
b. Memelihara agar tugas-tugas murid yang diberikan oleh guru dapat terlaksana dengan lancar dan optimal.
            Adapun yang bertanggung jawab tentang sarana dan prasarana pendidikan adalah para pengelola atau adiminstrasi pendidikan. Secara micro (sempit) maka kepala sekolah yang bertanggung jawab masalah ini.[6]
Sejalan dengan hal itu, fungsi administrasi yang dipandang perlu dilaksanakan secara khusus oleh kepala sekolah adalah :[7]
1.      Perencanaan
Perencanaan dapat dipandang sebagai suatu proses penentuan dan penyusunan rencana dan program-program kegiatan yang akan di lakukan pada masa yang akan dating secara terpadu dan sistematis berdasarkan landasan, prinsip-prinsip dasar dan data atau informasi yang terkait, serta menggunakan sumber-sumber daya lainnya dalam rangka mencapai tujuan yang telah di tetapkan sebelumnya. Namun, rencana tersebut hendaknya memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
1)      Harus Jelas
Kejelasan ini harus terlihat pada tujuan dan sasaran yang hendak di capai, jenis dan bentuk, tindakan (kegiatan) yang akan di laksanakan, siapa pelaksananya, prosedur, metode dan teknis pelaksananya, bahan dan peralatan yang diperlukan serta waktu dan tempat pelaksanaan.
2)      Harus Realistis.
Hal ini mengandung arti bahwa ;
a. Rumusan, tujuan serta target harus mengandung harapan yang memungkinkan dapat dicapai baik yang menyangkut aspek kuantitatif maupun kualitatifnya. Untuk itu harapan tersebut harus disusun berdasarkan kondisi dan kemampuan yang di miliki oleh sumberdaya yang ada.
b. Jenis dan bentuk kegiatan harus relevan dengan tujuan dan target yang hendak dicapai.
c. Prosedur, metode dan teknis pelaksanaan harus relevan dengan tujuan yang hendak dicapai serta harus memungkinkan kegiatan yang telah dipilih dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.
d. Sumber Daya Manusia yang akan melaksanakan kegiatan tersebut harus memiliki kemampuan dan motivasi serta aspek pribadi lainnya yang memungkinkan terlaksananya tugas dan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya .


3)      Rencana Harus Terpadu
a. Rencana harus memperlihatkan unsur-unsurnya baik yang bersifat insani maupun non insani sebagai komponen-komponen yang bergantung satu sama sama lain., berinteraksi dan bergerak bersama secara sinkron kearah tercapainya tujuan dan target yang telah di tetapkan sebelumnya.
b. Rencana harus memiliki tata urut yang teratur dan disusun berdasarkan skala prioritas.
2.      Pengorganisasian
Pengorganisasian adalah suatu proses yang menyangkut perumusan dan rincian pekerjaan dan tugas serta kegiatan yang berdasarkan struktur organisasi formal kepada orang-orang yang memiliki kesanggupan dan kemampuan melaksanakannya sebagai prasyarat bagi terciptanya kerjasama yang harmonis dan optimal ke arah tercapainya tujuan secara efektif dan efisien. Pengorganisasian ini meliputi langkah-langkah antara lain :
a.      Mengidentifikasi tujuan-tujuan dan sasaran yang telah di tetapkan sebelumnya.
b. Mengkaji kembali pekerjaan yang telah di rencanakan dan merincinya menjadi sejumlah tugas dan menjabarkan menjadi sejumlah kegiatan.
c. Menentukan personil yang memiliki kesanggupan dan kemampuan untuk   melaksanakan tugas dan kegiatan tersebut.
d.  Memberikan informasi yang jelas kepada guru tentang tugas kegiatan yang harus di laksanakan, mengenai waktu dan tempatnya, serta hubungan kerja dengan pihak yangn terkait.


3.      Menggerakkan
Fungsi ini menyangkut upaya kepala sekolah untuk memberikan pengaruh-pengaruh yang dapat menyebabkan guru tergerak untuk melaksanakan tugas dan kegiatannya secara bersama-bersama dalam rangka mencapai tujuan secara efektif dan efisien.
4.      Memberikan Arahan.
Fungsi ini menyangkut upaya kepala sekolah untuk memberikan informasi, petunjuk, serta bimbingan kepada guru yang di pimpinnya agar terhindar dari penyimpangan, kesulitan atau kegagalan dalam melaksanakan tugas. Fungsi ini berlaku sepanjang proses pelaksanaan kegiatan.
5.      Pengkoordinasian
Fungsi ini menyangkut upaya kepala sekolah untuk menyelaraskan gerak langkah dan memelihara prinsip taat asas (konsisten) pada setiap dan seluruh guru dalam melaksanakan seluruh tugas dan kegiatannya agar dapat tujuan dan sasaran yang telah direncanakan. Hal ini di lakukan oleh kepala sekolah melalui pembinaan kerja sama antar guru, dan antar guru dengan pihak-pihak luar yang terkait. Di samping itu penyelarasan dan ketaatan pada asas diupayakan agar fungsi yang satu dengan yang lainnya dapat mercapai dan memenuhi target yang di tetapkan sebelumnya.
6.      Pengendalian
Fungsi ini mencakup upaya kepala sekolah untuk:
a. Mengamati seluruh aspek dan unsur persiapan dan pelaksanaan program-program kegiatan yang telah direncanakan.
b.   Menilai seberapa jauh kegiatan-kegiatan yang ada dapat mencapai sasaran-sasaran dan tujuan.
c. Mengidentifikasi permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan kegiatan beserta faktor-faktor penyebabnya.
d. Mencari dan menyarankan atau menentukan cara-cara pemecahan masalah-masalah tersebut.
e. Mengujicobakan atau menerapkan cara pemecahan masalah yang telah dipilih guna menghilagkan atau mengurangi kesenjangan antara harapan dan kenyataan.
Dengan demikian dalam melaksanakan fungsi ini kepala sekolah dapat menggunakan sekurang-kurangnya 3 pendekatan yaitu :
a)      Pengendalian yang bersifat pencegahan.
b)      Pengendalian langsung.
c)      Pengendalian yang bersifat perbaikan.
7.      Inovasi
Fungsi ini menyangkut upaya kepala sekolah untuk menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan diri para guru untuk melakukan tindakan-tindakan atau usaha-usaha yang bersifat kreatif inovatif. Dengan demikian kepala sekolah dan guru-guru perlu mencari atau menciptakan cara-cara kerja atau hal-hal yang baru yang lebih sesuai dengan kebutuhan. Sekurang-kurangnya mereka diharapkan mampu dan mau memodifikasi hal-hal atau cara-cara yang lebih baik atau lebih efektif dan efisien, agar pembaharuan pendidikan dapat muncul dari warga sekolah ,hal ini juga akan menumbuhkan sikap dan daya kreatif warga sekolah itu sendiri. Namun, dalam melakukan fungsi ini kepala sekolah perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Harus disadari bahwa sesuatu yang baru belum tentu lebih baik dari yang lama.
b. Jika mampu menemukan atau menciptakan sesuatu hal atau cara baru, ia tidak perlu memandang rendah yang lama
c. Perlu dikonsultasikan kepada pihak-pihak yang berwenang.
C. Fungsi dan peranan Sarana dalam Kegiatan Belajar dan Mengajar (KBM) 
Bila ditinjau dari fungsi dan peranannya dalam Kegiatan Belajar-Mengajar (KBM), maka sarana pendidikan dapat dibedakan menjadi beberapa poin, yakni:
Pertama, Sebagai alat pelajaran. Alat pelajaran adalah alat yang digunakan secara langsung dalam proses belajar mengajar. Alat ini mungkin berwujud buku tulis, gambar-gambar, alat-alat tulis-menulis lain seperti kapur, penghapusan dan papan tulis maupun alat-alat praktek, semuanya termasuk ke dalam lingkup alat pelajaran.[8]
Kedua, Sebagai alat peraga. Alat peraga mempunyai arti yang luas. Alat peraga adalah semua alat pembantu pendidikan dan pengajaran, dapat berupa benda ataupun perbuatan dari yang tingkatannya paling konkrit sampai ke yang paling abstrak yang dapat mempermudah pemberian pengertian (penyampaian konsep) kepada murid. Di samping itu, alat peraga sangatlah penting bagi pengajar untuk mewujudkan atau mendemonstrasikan bahan pengajaran guna memberikan pengertian atau gambaran yang jelas tentang pelajaran yang diberikan. Hal itu sangat membantu siswa untuk tidak menjadi siswa verbalis.[9]
Ketiga, Sebagai media pengajaran. Kata media berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari kata medium yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar.[10]
Media adalah alat bantu apa saja yang dapat dijadikan sebagai penyalur pesan guna mencapai tujuan pengajaran. Media merupakan sesuatu yang bersifat menyalurkan pesan dan dapat merangsang pikiran, perasaan dan kemauan audien (siswa) sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar pada dirinya.
Oleh karena itu, Penggunaan media secara kreatif akan memungkinkan audien (siswa) untuk belajar lebih baik dan dapat meningkatkan performan mereka sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.[11]
Menurut Ramayulis, alat atau media pendidikan atau pengajaran mempunyai peranan yang sangat penting. Sebab alat/media merupakan sarana yang membantu proses pembelajaran terutama yang berkaitan dengan indera pendengaran dan penglihatan. Adanya alat/media bahkan dapat mempercepat proses pembelajaran murid karena dapat membuat pemahaman murid lebih lebih cepat pula.[12]
Media pendidikan mempunyai peranan yang lain dari peraga. Media pendidikan adalah sarana pendidikan yang digunakan sebagai perantara di dalam proses belajar mengajar, untuk lebih mempertinggi efektifitas dan efesiensi, tetapi dapat pula sebagai pengganti peranan guru.
Hamalik (1986) mengemukakan bahwa pemakaian media pengajaran dalam proses belajar mengajar dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan membawa pengaruh-pengaruh psikologis terhadap siswa. Penggunaan media pengajaran pada tahap orientasi pengajaran akan sangat membantu keefektifan proses pembelajaran dan penyampaian pesan dan isi pelajaran pada saat itu. Di samping membangkitkan motivasi dan minat siswa, media pengajaran juga dapat membantu siswa meningkatkan pemahaman, menyajikan data dengan menarik dan terpercaya, memudahkan penafsiran data, dan memadatkan informasi.[13]
D. Peranan Guru Dalam Administrasi Sarana dan Prasarana Pendidikan
Guru juga punya peranan yang sangat strategis dalam administrasi sarana dan prasarana yang ada dalam proses kegiatan belajar dan mengajar, yaitu dimulai dari perencanaan, pemanfaatan dan pemeliharaan, serta pengawasan penggunaan sarana-prasarana.

Sebagai konsekuensi dari pelaksana tugas pendidikan, guru juga mempunyai andil dalam administrasi sarana dan prasarana pendidikan. Dalam hal ini, guru lebih banyak berhubungan dengan sarana pengajaran, yaitu alat pelajaran, alat peraga, dan media pengajaran lainnya dibandingkan dengan keterlibatannya dengan prasarana pendidikan yang tidak langsung berhubungan.















BAB III
Penutup
Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa sarana dalam dunia pendidikan ialah berkenaan dengan segala bentuk fasilitas atau perlengkapan yang selalu berkaitan secara langsung dengan aktifitas dalam kegiatan mengajar supaya untuk mencapai tujuan pendidikan dapat berjalan efektif, efisien dan lancar, bisa seperti, alat peraga, buku, media penunjang, laboratorium dan sebagainya. Kebalikan dengan pengertian sarana, maka prasarana dapat diartikan sebagai alat tidak langsung untuk mencapai tujuan, atau dalam proses pendidikan di lembaga sekolah, seperti, lokasi atau tempat, lahan atau bangunan sekolah, lapangan olahraga, taman sekolah, dan sebagainya.

Sarana dan prasarana pendidikan ini didukung secara hukum oleh UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas dalam Pasal 45, maupun Keputusan Menteri P dan K No. 079/1975 bahkan ditegaskan lagi melalui PP No. 19 Tahun 2005 dalam Pasal 42.
Sedangkan administrasi sarana dan prasarana sekolah berfungsi dan berperan sebagai memberi dan melengkapi fasilitas untuk segala kebutuhan yang diperlukan dalam proses belajar mengajar, lalu memelihara agar tugas-tugas murid yang diberikan oleh guru dapat terlaksana dengan lancar dan optimal. Namun yang perlu disadari ialah sarana dan prasarana bisa menjadi rusak bila tak ada penegelolaan yang baik dari pihak sekolah, bisa saja rusak dari para siswa. Hal ini bisa dicegah bila semua komponen sekolah (Kepala Sekolah ataupun gurunya) ikut mengelola administrasi sarana dan prasarana agar tetap baik.
Sebagai penutup, yang perlu digarisbawahi ialah meskipun kegiatan belajar mengajar berlangsung lancar, namun bila tak adanya atau tak didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai tentu dapat membuat kepincangan dalam proses pembelajaran. Ini yang harus kita ketahui bersama.


DAFTAR PUSTAKA

Bafadal, Ibrahim. 2003. Seri Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah, Manajemen Perlengkapan Sekolah Teori dan Aplikasi; Cet I. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Daryanto, M. 2010. Administrasi Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Gunawan, Ary H. 1996. Administrasi Sekolah (Administrasi Pendidikan Mikro). Jakarta: PT Rineka Cipta.
Subari, 1994. Supervisi Pendidikan; Cet I. Jakarta: Bumi Aksara.




[1] E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), Cet. VII, h. 49
[2] Suharsimi Arikunto, Organisasi dan Administrasi Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, (Jakarta: PT GrafindoPersada, 1993), Cet. II, h. 81
[3] Drs. H.M. Daryanto., Administrasi Pendidikan, (Bandung: Rineka Cipta, 2010), hlm 51.
[4] Drs. H.M. Daryanto., Administrasi Pendidikan, (Bandung: Rineka Cipta, 2010), hlm 51.
[5] Ibrahim Bafadal, Seri Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah, Manajemen Perlengkapan Sekolah Teori dan Aplikasi, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003), Cet. I, h. 3
[6] Drs. H.M. Daryanto., Administrasi Pendidikan, (Bandung: Rineka Cipta, 2010), hlm 51.
[8] B. Suryo Subroto, Administrasi Pendidikan di Sekolah, (Jakarta: Bina Aksara, 1998), Cet. II, hlm. 75.
[9] Suharsimi Arikunto, Pengelolaan Materiil, (Jakarta: PT Prima Karya, 1987), Cet. I, hlm. 10.
[10] Arief S. Sadiman, dkk., Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), Ed. I, hlm.. 6.
[11] Asnawir dan M. Basyiruddin Usman, Media Pembelajaran, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), Cet. I, hlm. 11.
[12] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), Cet. IV, hlm. 180.
[13] Azhar Arsyad, Media Pengajaran, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000), Cet. II, hlm. 15-16

Tuesday 2 October 2012

Sosiologi Agama

 BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
            Agama merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan masyarakat yang perlu dipelajari oleh antropolog ataupun para ilmuwan sosial lainnya. Di dalam kehidupan masyarakat, agama muncul karena sifat ketauhidan masyarakat tersebut. Oleh karena itu agama perlu dipelajari dan dihayati oleh manusia karena kebutuhan manusia terhadap sang maha pencipta. Di dalam agama dijumpai ungkapan materi dan budaya dalam tabi’at manusia serta dalam sistem nilai, moral, etika, kajian agama, khususnya agama islam merupakan kebutuhan hidup bagi masyarakat indonesia, khususnya mayoritas. Oleh karena itu, kajian agama seperti Islam, Budha, Hindu, tidak hanya sebatas konsep saja, teori dan aspek-aspek kehidupan manusia beserta hukumnya, tapi harus dihayati dan direnungi untuk diamalkan dalam kehidupan manusia. Ide-ide keagamaan dan konsep-konsep keagamaan itu tidak dipaksa oleh hal-hal yang bersifat fisik tapi bersifat rohani. Karenanya agama merupakan suatu institusi ajaran yang menyajikan lapangan ekspresi dan implikasi yang begitu halus dan berbeda dengan suatu konsep hukum ataupun undang-undang yang dibuat oleh masyarakat.

B.   Tujuan
Tujuan mempelajari Sosiologi Agama adalah untuk mengetahui keadaan sosial dan agama-agama yang ada di lingkungan sekitar kita. Guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti, demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.
            Makalah  ini kami persentasikan pada tanggal 18 November 2012,  berdasarkan materi pembahasan dalam Sosiologi Agama yaitu Pengertian, Sasaran, Fungsi, dan Sejarah dalam Sosiologi Agama. Sebelum kami membahas makalah ini, kami akan memperkenalkan nama-nama kelompok kami, kelompok 1 yaitu :
1.      Sholihul Hady
2.      Suci Wisdiniati
3.      Uswatun Hasanah
4.      Lukluiyah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1       Pengertian Sosiologi Agama
            Secara Etimologi / harfiah atau berdasarkan makna kata sosiologi berasal dari dua suku kata yaitu dari kata Latin “ Socius “yang berarti kawan dan kata Yunani “Logos “ yang berarti kata fikiran atau ilmu pengetahuan.atau berbicara jadi menurut Auguste Comte Sosiologi berarti “ berbicara mengenai masyarakat “.Secara terminologi Sosiologi ialah ilmu pengetahuan tentang pergaulan hidup manusia, yaitu hubungan perseorangan dengan golongan, hubungan golongan dengan golongan. Sosiologi juga dapat diartikan sebagai ilmu tentang perilaku sosial ditinjau dari kecenderungan individu dengan individu lain, dengan memperhatikan simbol-simbol interaksi.
Ada tiga istilah yang dikenal tentang agama, yaitu: agama, religi dan din. Secara etimologi, kata agama berasal dari bahasa Sangsekerta, yang berasal dari akar kata gam artinya pergi. Kemudian akar kata gam tersebut mendapat awalan a dan akhiran a, maka terbentuklah kata agama artinya jalan. Maksudnya, jalan untuk mencapai kebahagiaan.
Di samping itu, ada pendapat yang menyatakan bahwa kata agama berasal dari bahasa Sangsekerta yang akar katanya adalah a dan gama. A artinya tidak dan gama artinya kacau. Jadi, agama artinya tidak kacau atau teratur. Maksudnya, agama adalah peraturan yang dapat membebaskan manusia dari kekacauan yang dihadapi dalam hidupnya, bahkan menjelang matinya. Sedangkan secara terminologi, agama dan religi ialah suatu tata kepercayaan atas adanya yang Agung di luar manusia, dan suatu tata penyembahan kepada yang Agung tersebut, serta suatu tata kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan yang Agung, hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam yang lain, sesuai dengan tata kepercayaan dan tata penyembahan tersebut.
Agama dalam arti sempit ialah seperangkat kepercayaan, dogma, peraturan etika, praktek penyembahan, amal ibadah, terhadap tuhan atau dewa-dewa tertentu. Dalam arti luas, agama adalah suatu kepercayaan atau seperangkat nilai yang menimbulkan ketaatan   pada seseorang atau kelompok tertentu kepada sesuatu yang mereka kagumi, cita-citakan dan hargai[1]
            Jika berbicara mengenai definisi Sosiologi Agama, maka ada beberapa hal yang kami singgung dalam pembahasan ini, di antaranya adalah mengenai pengertian Sosiologi, Agama, prinsip sosiologi, dan objek kajian Sosiologi Agama. Sosiologi secara umum adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat secara empiris untuk mencapai hukum kemasyarakatan yang seumum-umumnya.
            Sosiologi agama merupakan studi tentang fenomena sosial dan memandang fenomena agama sebagai fenomena sosial. Sosiologi agama selalu berusaha untuk menemukan prinsip-prinsip umum mengenai hubungan agama dengan masyarakat. Ia adalah suatu cabang sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti, demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.
            Namun menurut ahli sosiologi J.Milton Yinger memandang agama sebagai sistem kepercayaan dan praktik dengan mana suatu masyarakat atau kelompok manusia berjaga-jaga menghadapi masalah terakhir dari hidup ini. Sedangkan menurut J. Wach dalam agama ada tiga aspek yang perlu di perhatikan yaitu : Aspek teoritis, bahwa agama adalah sistem kepercayaan. Kedua aspek praktis, bahwa agama merupakan sistem kaidah yang mengikat penganutnya. Ketiga aspek sosiologis, bahwa agama merupakan sistem interaksi sosial. Banyak sekali pengertian atau makna sosiologi agama yang dipaparkan oleh para tokoh sosiologi. Dimana ilmu sosiologi agama merupakan bagian atau cabang dari sosiologi umum, sehingga tokoh atau para ilmuwan sosial yang berkicambung didalam ilmu sosiologi juga ikut memberikan masukan serta pemikiran dalam memaknai atau memberikan pengertian sosiologi agama.
Ada beberapa definisi Sosiologi Agama, di antaranya adalah:
  1. Sosiologi agama adalah ilmu yang membahas tentang hubungan antara berbagai kesatuan masyarakat, perbedaan atau masyarakat secara utuh dengan berbagai sistem agama, tingkat dan jenis spesialisasi berbagai peranan agama dalam berbagai masyarakat dan system keagamaan yang berbeda.
  2. Sosiologi agama adalah studi tentang fenomena sosial, dan memandang agama sebagai fenomena sosial. Sosiologi agama selalu berusaha untuk menemukan pinsip-prinsip umum mengenai hubungan agama dengan masyarakat.
  3. Sosiologi Agama adalah suatu cabang sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti, demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.[2]
Pengertian sosiologi agama menurut para ahli:
  • Drs. D. Hendropuspito, O.C[3] dalam bukunya "Sosiologi Agama" menerangkan bahwa sosiologi agama adalah suatu cabang sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.
  • Sosiologi agama mempelajari peran agama di dalam masyarakat; praktik, latar sejarah, perkembangan dan tema universal suatu agama di dalam masyarakat
  • Menurut Dr. H. Goddijn[4] Sosiologi Agama ialah bagian dari Sosiologi Umum (versi Barat) yang mempelajari suatu ilmu budaya empiris, profan dan positif yang menuju pada pengetahuan umum, yang jernih dan pasti dari struktur, fungsi-fungsi dan perubahan-perubahan kelompok keagamaan dan gejala-gejala kelompok kegamaan.
Sosiologi Agama ialah suatu cabang Sosiologi Umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnnya. Segi-segi penting yang hendak ditonjolkan dalam definisi itu antara lain:
·         Sosiologi Agama adalah cabang dari Sosiologi Umum
·         Sosiologi Agama sama dengan Sosiologi Umum yang benar-benar merupakan suatu ilmu.
·         Tugasnya mencari keterangan ilmiah.
Sosiologi Umum adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat secara empiris untuk mencapai hukum kemasyarakatan yang seumum-umumnnya. Jadi Sosiologi Umum bertugas mencapai ke hukum kemasyarakatan yang seluas mungkin bagi kehidupan masyarakat umumnya, maka Sosiologi Agama bertugas mencapai keterangan-keterangan ilmiah tentang masyarakat Agama.[5]
Sosiologi Agama menjadi disiplin ilmu tersendiri sejak munculnya karya Max Weber[6] dan Emile Durkheim[7]. Jika tugas dari Sosiologi Umum adalah untuk mencapai hukum kemasyarakatan yang seluas-luasnya, maka tugas dari sosiologi agama adalah untuk mencapai keterangan-keterangan ilmiah tentang masyarakat agama khususnya.
Masyarakat agama tidak lain ialah suatu persekutuan hidup (baik dalam lingkup sempit maupun luas) yang unsur konstitutif utamanya adalah agama atau nilai-nilai keagamaan.
Jika teologi mempelajari agama dan masyarakat agama dari segi “supra-natural”, maka Sosiologi Agama mempelajarinya dari sudut empiris sosiologis. Dengan kata lain, yang akan dicari dalam fenomena agama itu adalah dimensi sosiologisnya. Sampai seberapa jauh agama dan nilai keagamaan memainkan peranan dan berpengaruh atas eksistensi dan operasi masyarakat. Lebih konkrit lagi, misalnya, seberapa jauh unsur kepercayaan mempengaruhi pembentukan kepribadian pemeluk-pemeluknya ikut mengambil bagian dalam menciptakan jenis-jenis kebudayaan, mewarnai dasar-dasar haluan negara, memainkan peranan dalam munculnya strata (lapisan) sosial, seberapa jauh agama ikut mempengaruhi proses sosial, perubahan sosial, fanatisme dan lain sebagainya.
2.2       Sasaran dan Fungsi Sosiologi Agama
            A. Sasaran sosiologi agama
Ada beberapa sasaran atau objek dalam sosiologi agama diantaranya yaitu :
1.      Sasaran langsung (objek material)
Sasaran langsung atau obyek material sosiologi agama ialah masyarakat agama. Masyarakat agama adalah suatu persekutuan hidup baik dalam lingkungan sempit atau luas yang unsur konstitutif utamanya adalah agama atau nilai-nilai keagamaan. Masyarakat agama terdiri dari komponen-komponen konstitutif. Misalnya kelompok keagamaan atau institusi-institusi religius yang mempunyai ciri tertentu menurut peraturan dan norma-norma yang ditentukan oleh agama. Masyarakat agama yang seperti itu akan terus disoroti struktur dan fungsinya, pengaruhnya terhadap masyarakat umum dan atas stratifikasi sosial khususnya. Hal itu disebabakan oleh adanya kesadaran kelompok religius yang mempunyai sifat tersendiri, untuk mengkaji perubahan-perubahan yang disebabkan oleh agama, baik yang positif maupun yang negatif. Seperti kerukunan antar golongan agama dan konflik-konflik yang sering terjadi.
Menurut Keith A. Roberts, sasaran (objek) kajian sosiologi agama adalah memfokuskan kajian pada:
a). Kelompok-kelompok dan lembaga keagamaan, yang meliputi pembentukannya, kegiatan demi kelngsungan hidupnya, pemeliharaan dan pembaharuannya.
b). Perilaku individu dalam kelompok-kelompok tersebut atau proses sosial yang mempengaruhi status keagamaan dan perilaku ritual.
c). Konflik antar kelompok, misalnya katholik lawan protestan, kristen dengan islam dan sebagainya. Bagi sosiolog kepercayaan adalah satu bagian kecil dari aspek agama yang menjadi perhatiaanya.
Bila dikatakan bahwa yang menjadi sasaran sosiologi agama adalah masyarakat agama, sesungguhnya yang dimaksud bukanlah agama sebagai suatu sistem (dogma dan moral), tetapi agama sebagai fenomena sosial, sebagai fakta sosial yang dapat dilaksanakan dan dialami oleh orang banyak. Ilmu ini hanya menkonstatasi akibat empiris kebenaran-kebenaran supra empiris, yaitu yang disebut dengan istilah masyarakat agama, dan itulah sasaran langsung dari sosiologi agama.[8]


2.      Sudut Pendekatan (objek formal)
Yang hendak dicari dalam fenomena agama itu adalah dimensi sosiologisnya. Sampai seberapa jauh agama dan nilai-nilai keagamaan memainkan peranan dan berpengaruh atas eksistensi dan operasi masyarakat manusia. Lebih konkrit misalnya, seberapa jauh unsur kepercayaan mempengaruhi pembentukkan kepribadian pemeluk-pemeluknya, ikut menciptakan jenis-jenis kebudayaan, mewarnai dasar dan haluan negara, memainkan peranan dalam memunculkan strata sosial. Jadi hal-hal tersebut dalam contoh di atas  yang berkaitan erat dengan masalah agama, Sosiologi Agama menyorotinya dari sudut pandang sosiologis. Sosiologi agama melalui pengamatan dan penelitian mau mencari keterangan-keterangan ilmiah untuk dipergunakan sebagai sarana meningkatkan daya guna dan fungsi agama itu sendiri demi kepentingan masyarakat agama yang bersangkutan khususnya dan masyarakat luas umumnya.
B.   Fungsi Sosiologi Agama
Munculnya Sosiologi Agama dalam forum keilmuan merupakan suatu sumbangan yang tidak kecil bagi instansi keagamaan. Sebagaimana Sosiologi Positif telah membuktikan daya gunanya dalam hal mengatasi kesulitan yang muncul dalam masyarakat serta menunjukkan cara-cara ilmiah untuk perbaikan dan pengembangan masyarakat, demikian pula Sosiologi Agama bermaksud membantu para pemimpin agama dalam mengatasi masalah-masalah sosio-religius yang tidak kalah beratnya dengan masalah-masalah sosial non keagamaan. Dalam bidang teoritis di mana para ahli keagamaan merupakan konsep-konsep dan resep-resep ilmiah praktis yang sulit diperoleh dari teologi, maka Sosiologi Agama dapat memberikan sumbangannya. Terutama Sosiologi Agama Kristen yang ternyata sudah lebih maju dari pada Sosiologi Agama di luar Agama Kristen, dapat memberikan sumbangan yang berharga khususnya kepada teologi tentang Gereja (ekklesiogi), kepada misiologi, dan tidak kurang kepada teologi pastoral, pun pula kepada teologi pembebasan dan teologi pembangunan.
Jika kita telah satu persatu, fungsi utama agama adalah mengurangi kegelisahan, memantapkan kepercayaan kepada diri sendiri dan yang terpenting adalah memelihara keadaan manusia agar tetap siap menghadapi realitas. Namun, ada yang juga yang mengatakan bahwa fungsi agama adalah peran agama dalam mengatasi persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat yang tidak dapat dipecahkan secara empiris karena adanya keterbatasan kemampuan dan ketidakpastian. Oleh karena itu, diharapkan agama menjalankan fungsinya sehingga masyarakat merasa sejahtera, aman, stabil, dan sebagainya.  Dalam bidang teoritis dimana para ahli keagamaan memerlukan konsep-konsep dan resep ilmiah praktis yang sulit diperoleh dari teologi, maka sosiologi agama dapat memberikan sumbangannya.
Pada prinsipnya sosiologi agama sama dengan sosiologi umum yang membedakannya adalah obyek materinya. Sosiologi umum membicarakan semua fenomena yang ada dalam masyarakat secara umum, sedangkan sosiologi agama membicarakan salah satu aspek dari berbagai fenomena sosial yaitu agama dalam perwujudan agama. Sosiologi agama memusatkan perhatiannya terutama untuk memahami makna yang diberikan suatu masyarakat kepada sistem agamanya sendiri, dan berbagai hubungan antar agama dengan struktur sosial lainnya, juga dengan berbagai aspek budaya yang bukan agama seperti magic, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam kehidupan masyarakat pedesaan agama masih berperan dalam berbagai aspek kehidupan, bahwa hampir disetiap kegiatan selalu melibatkan agama baik itu dalam ekonomi, pendidikan, politik dan sosial lainnya. Berbeda dengan masyarakat perkotaan kecil, pada masyarakat seperti ini agama mulai kurang peranannya dalam aspek-aspek kehidupan tertentu. Ide-ide modernisasi selalu terhambat oleh pemikiran-pemikiran keagamaan yang membatasi kreativitas bebas dalam melaksanakan pembaruan sosial. Apalagi di masyarakat kota metropolitan, pada masyarakat seperti ini peran agama hampir hanya dalam kehidupan individu dan keluarga saja.
Sosiologi agama memberikan kontribusi yang tidak kecil lagi bagi instansi keagamaan. Sebagai sosiologi positif ia telah membuktikan daya gunanya dalam hal mengatasi kesulitan-kesulitan yang muncul dalam masyarakat serta menunjukkan cara-cara ilmiah untuk perbaikan dan pengembangan masyarakat, demikian juga sosiologi agama bermaksud membantu para pemimpin agama dalam mengatasi masalah-masalah sosio-religius yang tidak kalah beratnya dengan masalah-masalah sosial non keagamaan, memberikan pengetahuan tentang pola-pola interkasi social keberagamaan yang terjadi dalam masyarakat, membantu kita untuk mengontrol atau mengendalikan setiap tindakan dan perilaku keberagamaan kita dalam kehidupan bermasyarakat, dengan bantuan sosiologi agama, kita akan semakin memahami nilai-nilai, norma, tradisi  dan keyakinan yang dianut oleh masyarakat lain serta memahami perbedaan yang ada. Tanpa hal itu, mejadi alas an untuk timbulnya konflik di antara umat beragama, membuat kita lebih tanggap, kritis dan rasional untuk mengahadapi gejala-gejala social keberagamaan masyarakat, serta kita dapat mengambil tindakan yang tepat dan akurat terhadap setiap situasi social yang kita  hadapi.[9]
2.3 Sejarah berkembangnya sosiologi agama
            Kelahiran sosiologi lazimnya dihubungkan dengan seorang ilmuwan Perancis bernama Auguste Comte (1798-1857), yang dengan kreatif telah menyusun sintesa berbagai macam aliran pemikiran, kemudian mengusulkan mendirikan ilmu tentang masyarakat dengan dasar filsafat empirik yang kuat. ilmu tentang masyarakat ini pada awalnya oleh Auguste Comte diberi nama ”social physics” (fisika sosial), kemudian dirubahnya sendiri menjadi ”sociology” karena istilah fisika sosial tersebut dalam waktu yang hampir bersamaan ternyata dipergunakan oleh seorang ahli statistik sosial berasal dari Belgia bernama Adophe Quetelet. Selanjutnya Auguste Comte dikenal sebagai ”bapak” sosiologi. Fenomena agama sudah mulai tumbuh sekitar pertengahan abad ke-19 oleh sejumlah sarjana Barat terkenal seperti Edward B.Taylor (1832-1917), Herbert Spencer (1820-1903), Friedrich H.Muller (1823-1917), Sir James G.Fraser (1854-1941). Tokoh-tokoh ini lebih tertarik kepada agama-agama primitif. Namun pengkajian masalah agama secara ilmiah dan terbina baru mulai sekitar 1900. Mulai saat itu hingga menjelang 1950 muncullah buku-buku sosiologi agama yang sering disebut sosiologi agama klasik. Periode klasik ini dikuasai oleh dua orang sosiolog yang terkenal yaitu Emile Durkheim dari Perancis (1858-1917) dan Max Weber dari Jerman (1864-1920). Dua sarjana ini lazim dipandang sebagai pendiri sosiologi agama.
            [10]Sesudah Perang Dunia II tumbuh perkembangan baru. Dalam arus sosiologi klasik itu munculah suatu minat yang kuat dari sebagian besar ahli sosiologi yang ditujukan kepada kehidupan agama di dalam gereja. Maka lahirlah sosiologi gereja. Tujuan penelitian para peminat semata-mata diarahkan dalam bidang kehidupan gereja dan hasilnya dimaksudkan untuk kepentingan gereja, khususnya dalam menentukan kebijaksanaan baru. Berkaitan dengan pengambilan kebijaksanaan itu para peneliti cukup cepat menyadari bahwa pelayanan pastoral dirasa sebagai kunci utama untuk mendatangkan perbaikan. Maka cukup cepat kegiatan penelitian dipusatkan pada pelayanan pastoral. Lalu muncullah apa yang dinamakan sosiologi pastoral.
Ternyata usaha itu mendatangkan hasil yang positif. Maka sosiologi pastoral itu mendapat gairah lebih besar lagi dan mengalami perkembangan bagus. Bahkan, di beberapa negara (Perancis, Jerman, dan Belanda) didirikan lembaga khusus untuk penelitian kehidupan sosial gerejani. Hasil positif dari sosiologi gereja dan sosiologi pastoral di atas ternyata menumbuhkan sikap-sikap baru dari peminatnya. Entah disadari entah tidak Sosiologi Agama (yang bercorak gerejani) ini memisahkan diri dari sosiologi umum.
[11]Namun sekitar tahun 1960-an terjadi perkembangan lain. Sosiologi gereja mengalami frustasi dan kemunduran, bahkan akhirnya berhenti untuk nantinya muncul kembali dalam bentuk baru. Menurut para paninjau yang kompeten memang terdapat alasan-alasan yang cukup kuat menyebabkan hal tersebut, antara lain:
a)      Pimpinan Gereja umumnya merasa tidak mendapatkan apa yang mereka harapkan semula. Hal ini membawa akibat yang tidak menguntungkan. Jelasnya, dukungan dari pihak pimpinan gereja berkurang.
b)      Sementara itu kalangan para sosiolog (dari Sosiologi Umum) tidak tinggal diam. Mereka menilai dan mengeluarkan pendapat mereka, bahwa cara kerja dan hasil kerja para sosiolog gerejani kurang bermutu ilmiah. Mutunya paling tinggi hanya sejajar dengan karangan yang berbobot deskripsi dan sosiografi.
Sementara itu pengertian tentang sasaran dan lingkup sosiologi agama di pandang perlu untuk diperluas, dan hanya di persempit pada Gereja saja. Sebab dalam pengertian agama termasuk juga pengertian iman atau kepercayaan. Gereja hanya merupakan salah satu bentuk kepercayaan tertentu. Maka disimpulkan bahwa mulai saat itu penelitian sosial keagamaan tidak boleh terbatas pada kehidupan gerejani saja. Tetapi harus mencakup semua bentuk kepercayaan yang ada di luar Gereja. 
Berdasarkan timbangan-timbangan di atas terjadilah perubahan alam sikap sosiologi agama. Pertama, Sosiologi Agama menjauhkan diri dari Gereja dan kembali pada pangkuan Sosiologi Umum. Kedua, sosiologi agama mengadakan langkah baru menuju kepada tercapainya pengetahuan yang sungguh bersifat ilmu. Untuk itu dirasa perlu mengadakan koreksi-koreksi mengenai : sasaran, metodologi dan problematikanya.

Sasarannya
Pengertian agama harus diambil dalam arti luas. Termasuk lingkup ini ialah masalah apakah agama itu berbentuk institusi (misalnya Gereja) atau bukan institusi. Dalam ini pandangan modern dari seorang ahli Sosiologi Peter L. Berger dari Amerika Serikat bersama dengan Thomas Luck Mann dari Jerman mendapat dukungan penuh dari kalangan ahli sosiologi yang mau disebut modern. 
Metodologi baru
Metode deskriptif tidak memadai lagi untuk menangani sasaran baru (agama dalam arti luas). Untuk menjawab problem teoritis “ apakah agama itu ?” perlu ditempuh metode baru. Metode baru ini harus memungkinkan jawaban atas persoalan lebih lanjut : bagaimana permainan timbal balik antara nilai-nilai keagamaan dan dinamika sosio budaya setempat, suatu hal yang aktual yang menuntut keterangan lebih jelas.
Problematik  baru
Sejak tahun 1970-an Sosiologi Agama menghadapi problematik baru yang menyangkut aspek-aspek sebagai berikut :
-          Lingkup tinjauan Sosiologi Agama harus diperluas. Tegasnya tidak hanya menangani agama-agama institusional saja. Tetapi mencakup semua agama (termasuk nonkonstitusional) yang sungguh memberi pengaruh nyata atas kehidupan manusia dan masyarakatnya.
-          Masalah pengertian agama dan makna agama. Apakah dalam hal ini ada perubahan? Untuk mengatasi kesulitan ini perlu terlebih dahulu diadakan pertanyaan kepada penganut-penganut agama yang berbeda-beda apa sesungguhnya yang mereka maksud dengan agama.
-          Apabila setiap orang atau kelompok mempunyai pengertian yang jauh berbeda satu dengan yang lain, hal tersebut akan menimbulkan kesulitan baru dalam menentukan batas-batas pengertiannya.
-           Apabila pengertian baru agama sudah dirumuskan  setepat-tepatnya dalam definisi yang baru dengan sendirinya akan timbul problematika baru tentang cara pendekatannya.
o   Sosiologi tentang Gereja di Eropa
Dalam uraian diatas telah dikemukakan bahwa sosiologi agama sudah periode klasik berkembang menjadi sosiologi tentang Gereja. Untuk mengenai Sosiologi Gereja di Eropa akan diperkenalkan beberapa tokoh penting. Di Prancis. Dari negara yang sebagian beragama katolik patut disebut nama Gabriel Le Bras. Karena dialah perintis dan pendorong Sosiologi Agama ( dalam arti Gereja) di Eropa selatan. Dia tergerak oleh kedua kenyataan yang saling bertolak belakang tentang negaranya.
Untuk negara Belgi patut disebut nama J. Leclercg yang sejak tahun 1941 bergiat dalam sosiologi agama (Gereja). Dia dikenal lagi sebagai seorang pemrakarsa berdirinya kongres Internasional Sosiologi Agama 1948. Pusat kegiatannya ialah Universitas Leuven. Di Jerman. Pengantar sosiologi Agama yang lebih sistematis diterbitkan oleh Joachim Wach (1931) dan Gustave Mensching (1944). Namun keduannya masih bermutu sejarah agama dari pada sosiologi agama.
Di Nederland. Penelitian sosiografis tentang hidup religius dimulai oleh Steinmatz. Dari kehidupan agama di Nederland juga dalam mengkaji masalah “Agama dan kesadaran kelompok”. Dari negeri ini muncul suatu majalah “social kompas” dalam tahun 1950, yang kemudian mulai tahun 1960 ditingkatkan menjadi majalah internasional mengenai studi sosio-keagamaan dengan nama “social compass”. Di Itali. Dorongan pertama untuk mempelajari masalah hidup religius datang dari seorang uskup di Mantua (1935). Muncullah kemudian sebuah buku statistik umat gereja yang disusun oleh Blodrini, Filograsi.
o   Sosiologi Gereja di Amerika Serikat
Baiklah diketahui bahwa dari kalangan para sosiolog sendiri yang sungguh ahli dalam bidang ini sebagian besar tidak tertarik kepada sosiologi agama sebelum Perang Dunia II. Mereka memandang agama sebagai suatu bentuk kelambanan kultural, yang tidak “bermanfaat” untuk dipelajari, karena pengkajiannya tidak akan memberikan sumbangan yang berarti bagi pembangunan masyarakat yang rasional. Baru sesudah Perang Dunia II terdapat perubahan dalam sikap tersebut, dan minat kepada sosiologi agama mulai bertumbuh, praduga yang kurang baik mulai berkurang didesak oleh pandangan yang positif. (dan sistematis). Dorongan terbesar untuk merefleksi kehidupan agama secara sosiologis yang mendalam diberikan oleh R.K. Merton dan T. Parsons, dan ahli sosiologi ternama, yang ternayata berhasil meyakinkan bukan saja kalangan sosiolog tetapi juga kalangan Gereja.
Dari kalangan Katolik pada tahun 1938 kalangan sarjana katolik mendirikan suatu organ yang diberi nama “The American Catholic Sociological Society”. Tujuan yang ingin dicapai organ ini ada dua hal, pertama, memberikan karangan-karangan ilmiah mengenai teoro-teori sosiologis di penelitian dalam lapangan keagamaan, dan kedua sebagai sarana kontak antara para sosiolog katolik sendiri atau pada awal penerbitannya ternyata karangan-karangannya sebagian besar masih bersifat filosofis, namun dalam kurun waktu selanjutnya dapat mengubah corak itu menjadi positif empiris, sehingga majalah tersebut pada tahun 1964 berganti nama menjadi “Sociological Analysis”.
o   Kuncup-kuncup Sosiologi Agama di Indonesia
Sejalan dengan pertumbuhan Sosiologi Umum di negara kita yang masih dalam hidup permulaan maka dapat di mengerti bahwa masih terdapat kekosongan di bidang Sosiologi Agama. Hal ini disadari kalangan para ahli ilmu sosial dan tidak kurang dari Dr. Mukti Ali (bekas menteri Agama RI). Beliau menganjurkan para sarjana Indonesia supaya mengadakan penelitian dalam bidang masalah kehidupan agama.
Terlepas dari himbauan Mukti Ali sementara itu telah muncul dalam peredaran sebuah buku yang berjudul “profil pesantren” oleh Sudjoko dkk. LP3ES Jakarta (1974) dari sebuah buku lain “pesantren dan pembaharuan”. Dua buku tersebut menyingkap bentuk, kehidupan keagamaan islam dalam ruang lingkup kecil yang disebut pesantren (oleh Abdul Rahman Wahid pernah disebut sebagai subkultur) dikatakan menyingkapkan karena dalam kurun waktu cukup lama dalam pendidikan itu beserta sistem pendidikannya berjalan di luar arus pendidikan umum tertutup bagi dunia luar. Meskipun isi uraian yang disajikan secara formal tidak dapat disebut sosiologi agama dalam arti sesungguhnya namun harus diakui bahwa apa yang telah di kerjakan oleh penulis-penulisnya yang di sponsori Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) tersebut harus disambut dengan rasa gembira. Karena bagaimanapun nilainya mereka telah menanamkan benih-benih yang dapat menumbuhkan rangsangan ke arah penelitian yang diinginkan Sosiologi Agama untuk masa depan.

Dari kalangan Gereja Katolik. Langkah-langkah yang telah diambil Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta Patut disambut dengan rasa syukur. Universitas tersebut pada tahun 1972 mendirikan suatu pusat penelitian yang diberi nama Pusat Penelitian Atma Jaya (PPA) Jakarta dan diberi tugas  untuk mengadakan penelitian masalah sosial kegerejaan yang berkaitan dengan perkembangan gereja  katolik di indonesia. Tujuan tersebut dituangkan dalam beberapa program.  PPA tersebut juga bermaksud mengadakan perpustakaan dan dokumentasi khusus yang meliputi buku, laporan, karangan dan majalah yang berkenaan dengan bidang penelitian sosial kegerejaan dan bidang yang bertalian.
Di jelaskan bahwa pemerintah mempunyai tugas dan wewenang dibidang kehidupan beragama para warga negara, bukan dalam arti yang menyangkut perkembangan atau pertemuan manusia dengan tuhan, melainkan sejauh agama itu sudah merupakan fakta sosial di masyarakat indonesia. Sejauh itu maka agama dapat dipelitakan, supaya agama sebagai unsur pembangunan yang di PELITA kan dapat mengembangkan fungsinya dengan baik dan terarah.[12] Dari tinjauan singkat di atas dapat disimpulkan bahwa dibidang Sosiologi Agama di negara kita baru di dapati kuncup-kuncup kecil yang mudah-mudahan dapat berkembang menjadi bunga yang menghasilkan buah yang berarti.









BAB III
PENUTUP
3.1     Kesimpulan
            Sosiologi secara umum adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat secara empiris untuk mencapai hukum kemasyarakatan yang seumum-umumnya. Sosiologi agama merupakan studi tentang fenomena sosial dan memandang fenomena agama sebagai fenomena sosial. Sosiologi agama selalu berusaha untuk menemukan prinsip-prinsip umum mengenai hubungan agama dengan masyarakat. Ia adalah suatu cabang sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti, demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.

3.2     Saran
            Dalam kepenulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan bahan atau kekurangan di berbagai hal. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik atau saran yang membangun untuk penulis agar kiranya dapat memberi semangat kepada penulis untuk lebih baik lagi dalam kepenulisan selanjutnya








DAFTAR PUSTAKA

 Hendropuspito, Sosiologi Agama, Yogyakarta, Kanisius, 1983                   
Kahmad, Dadang, Sosiologi Agama, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2006
http://www.google.com




[1] http://orthevie.wordpress.com/2010/02/13/pengertian-tempat-fungsi-dan-aliran-aliran-serta-metode-penelitian-dalam-sosiologi-agama/
[2] http://orthevie.wordpress.com/2010/02/13/pengertian-tempat-fungsi-dan-aliran-aliran-serta-metode-penelitian-dalam-sosiologi-agama/
[3] Drs. D. Hendropuspito, O.C. Sosiologi Agama
[4] Dr. H.Goddijn.Dr.W.Goddijn,Sosiologie van kerk en Godsdienst, utrecht,Antwerpen. P. 36
[5] Drs. D. Hendropuspito, O.C. Sosiologi Agama, hlm.8.
[6] Max Weber. The Sociology Of Religion, trans, by Ephraim fischoff Beacon press Boston : 1963
[7] Emile Durkheim, The Elementary Forms Of  the Religious Life, trans. By. Joseph ward swain (Glencoe, III : The Free Press, 1954 : George Allen & unwin Ltd)
[8] Drs. D. Hendropuspito, O.C. Sosiologi Agama, hlm. 9.
[9] Drs. D. Hendropuspito, O.C. Sosiologi Agama, hlm. 10-11.
[10] Disarikan dari laporan Een Kongres van Godsdienst  Sociologen dalam Theologie en Pastoral No. 5, 1973 oleh A.L Ryken- Hoeven, G, Dekker, hlm. 293-301
[11] Drs. D. Hendropuspito, O.C. Sosiologi Agama, hlm.15-21
[12]  Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama-Departemen Agama- telah menerbitkan 2 buku yang dapat dipandang sebagai karya ilmiah Sosiologi Agama.