BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Agama merupakan
salah satu aspek penting dalam kehidupan masyarakat yang perlu dipelajari oleh
antropolog ataupun para ilmuwan sosial lainnya. Di dalam kehidupan masyarakat,
agama muncul karena sifat ketauhidan masyarakat tersebut. Oleh karena itu agama
perlu dipelajari dan dihayati oleh manusia karena kebutuhan manusia terhadap
sang maha pencipta. Di dalam agama dijumpai ungkapan materi dan budaya dalam
tabi’at manusia serta dalam sistem nilai, moral, etika, kajian agama, khususnya
agama islam merupakan kebutuhan hidup bagi masyarakat indonesia, khususnya
mayoritas. Oleh karena itu, kajian agama seperti Islam, Budha, Hindu, tidak
hanya sebatas konsep saja, teori dan aspek-aspek kehidupan manusia beserta
hukumnya, tapi harus dihayati dan direnungi untuk diamalkan dalam kehidupan
manusia. Ide-ide keagamaan dan konsep-konsep keagamaan itu tidak dipaksa oleh
hal-hal yang bersifat fisik tapi bersifat rohani. Karenanya agama merupakan suatu
institusi ajaran yang menyajikan lapangan ekspresi dan implikasi yang begitu
halus dan berbeda dengan suatu konsep hukum ataupun undang-undang yang dibuat
oleh masyarakat.
B.
Tujuan
Tujuan
mempelajari Sosiologi Agama adalah untuk mengetahui keadaan sosial dan
agama-agama yang ada di lingkungan sekitar kita. Guna mencapai keterangan-keterangan
ilmiah dan pasti, demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat
luas pada umumnya.
Makalah ini kami persentasikan
pada tanggal 18 November 2012,
berdasarkan materi pembahasan dalam Sosiologi Agama yaitu Pengertian,
Sasaran, Fungsi, dan Sejarah dalam Sosiologi Agama. Sebelum kami membahas
makalah ini, kami akan memperkenalkan nama-nama kelompok kami, kelompok 1 yaitu
:
1.
Sholihul
Hady
2.
Suci
Wisdiniati
3.
Uswatun
Hasanah
4.
Lukluiyah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Sosiologi Agama
Secara
Etimologi / harfiah atau berdasarkan makna kata sosiologi berasal dari dua suku
kata yaitu dari kata Latin “ Socius “yang berarti kawan dan kata Yunani “Logos
“ yang berarti kata fikiran atau ilmu pengetahuan.atau berbicara jadi menurut
Auguste Comte Sosiologi berarti “ berbicara mengenai masyarakat “.Secara terminologi Sosiologi ialah ilmu pengetahuan tentang
pergaulan hidup manusia, yaitu hubungan perseorangan dengan golongan, hubungan
golongan dengan golongan. Sosiologi juga dapat diartikan sebagai ilmu
tentang perilaku sosial ditinjau dari kecenderungan individu dengan individu
lain, dengan memperhatikan simbol-simbol interaksi.
Ada tiga
istilah yang dikenal tentang agama, yaitu: agama, religi dan din. Secara
etimologi, kata agama berasal dari bahasa Sangsekerta, yang berasal dari akar
kata gam artinya pergi. Kemudian akar kata gam tersebut mendapat awalan a dan
akhiran a, maka terbentuklah kata agama artinya jalan. Maksudnya, jalan untuk
mencapai kebahagiaan.
Di samping itu, ada pendapat yang menyatakan bahwa kata agama berasal dari bahasa Sangsekerta yang akar katanya adalah a dan gama. A artinya tidak dan gama artinya kacau. Jadi, agama artinya tidak kacau atau teratur. Maksudnya, agama adalah peraturan yang dapat membebaskan manusia dari kekacauan yang dihadapi dalam hidupnya, bahkan menjelang matinya. Sedangkan secara terminologi, agama dan religi ialah suatu tata kepercayaan atas adanya yang Agung di luar manusia, dan suatu tata penyembahan kepada yang Agung tersebut, serta suatu tata kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan yang Agung, hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam yang lain, sesuai dengan tata kepercayaan dan tata penyembahan tersebut.
Di samping itu, ada pendapat yang menyatakan bahwa kata agama berasal dari bahasa Sangsekerta yang akar katanya adalah a dan gama. A artinya tidak dan gama artinya kacau. Jadi, agama artinya tidak kacau atau teratur. Maksudnya, agama adalah peraturan yang dapat membebaskan manusia dari kekacauan yang dihadapi dalam hidupnya, bahkan menjelang matinya. Sedangkan secara terminologi, agama dan religi ialah suatu tata kepercayaan atas adanya yang Agung di luar manusia, dan suatu tata penyembahan kepada yang Agung tersebut, serta suatu tata kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan yang Agung, hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam yang lain, sesuai dengan tata kepercayaan dan tata penyembahan tersebut.
Agama dalam arti
sempit ialah seperangkat kepercayaan, dogma, peraturan etika, praktek
penyembahan, amal ibadah, terhadap tuhan atau dewa-dewa tertentu. Dalam arti
luas, agama adalah suatu kepercayaan atau seperangkat nilai yang menimbulkan
ketaatan pada seseorang atau kelompok
tertentu kepada sesuatu yang mereka kagumi, cita-citakan dan hargai[1]
Jika berbicara
mengenai definisi Sosiologi Agama, maka ada beberapa hal yang kami singgung
dalam pembahasan ini, di antaranya adalah mengenai pengertian Sosiologi, Agama,
prinsip sosiologi, dan objek kajian Sosiologi Agama. Sosiologi secara umum
adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat secara empiris untuk
mencapai hukum kemasyarakatan yang seumum-umumnya.
Sosiologi
agama merupakan studi tentang fenomena sosial dan memandang fenomena agama
sebagai fenomena sosial. Sosiologi agama selalu berusaha untuk menemukan
prinsip-prinsip umum mengenai hubungan agama dengan masyarakat. Ia adalah suatu
cabang sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna
mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti, demi kepentingan masyarakat
agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.
Namun
menurut ahli sosiologi J.Milton Yinger memandang agama sebagai sistem
kepercayaan dan praktik dengan mana suatu masyarakat atau kelompok manusia
berjaga-jaga menghadapi masalah terakhir dari hidup ini. Sedangkan menurut J.
Wach dalam agama ada tiga aspek yang perlu di perhatikan yaitu : Aspek
teoritis, bahwa agama adalah sistem kepercayaan. Kedua aspek praktis, bahwa
agama merupakan sistem kaidah yang mengikat penganutnya. Ketiga aspek
sosiologis, bahwa agama merupakan sistem interaksi sosial. Banyak sekali
pengertian atau makna sosiologi agama yang dipaparkan oleh para tokoh
sosiologi. Dimana ilmu sosiologi agama merupakan bagian atau cabang dari
sosiologi umum, sehingga tokoh atau para ilmuwan sosial yang berkicambung
didalam ilmu sosiologi juga ikut memberikan masukan serta pemikiran dalam
memaknai atau memberikan pengertian sosiologi agama.
Ada beberapa definisi Sosiologi Agama, di
antaranya adalah:
- Sosiologi agama adalah ilmu yang membahas tentang hubungan antara berbagai kesatuan masyarakat, perbedaan atau masyarakat secara utuh dengan berbagai sistem agama, tingkat dan jenis spesialisasi berbagai peranan agama dalam berbagai masyarakat dan system keagamaan yang berbeda.
- Sosiologi agama adalah studi tentang fenomena sosial, dan memandang agama sebagai fenomena sosial. Sosiologi agama selalu berusaha untuk menemukan pinsip-prinsip umum mengenai hubungan agama dengan masyarakat.
- Sosiologi Agama adalah suatu cabang sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti, demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.[2]
Pengertian sosiologi agama menurut para ahli:
- Drs. D. Hendropuspito, O.C[3] dalam bukunya "Sosiologi Agama" menerangkan bahwa sosiologi agama adalah suatu cabang sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.
- Sosiologi agama mempelajari peran agama di dalam masyarakat; praktik, latar sejarah, perkembangan dan tema universal suatu agama di dalam masyarakat
- Menurut Dr. H. Goddijn[4] Sosiologi Agama ialah bagian dari Sosiologi Umum (versi Barat) yang mempelajari suatu ilmu budaya empiris, profan dan positif yang menuju pada pengetahuan umum, yang jernih dan pasti dari struktur, fungsi-fungsi dan perubahan-perubahan kelompok keagamaan dan gejala-gejala kelompok kegamaan.
Sosiologi Agama ialah suatu cabang Sosiologi
Umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai
keterangan-keterangan ilmiah dan pasti demi kepentingan masyarakat agama itu
sendiri dan masyarakat luas pada umumnnya. Segi-segi penting yang hendak
ditonjolkan dalam definisi itu antara lain:
·
Sosiologi Agama adalah cabang dari Sosiologi
Umum
·
Sosiologi Agama sama dengan Sosiologi Umum yang benar-benar merupakan suatu ilmu.
·
Tugasnya mencari keterangan ilmiah.
Sosiologi Umum adalah ilmu pengetahuan yang
mempelajari masyarakat secara empiris untuk mencapai hukum kemasyarakatan yang
seumum-umumnnya. Jadi Sosiologi Umum bertugas mencapai ke hukum kemasyarakatan
yang seluas mungkin bagi kehidupan masyarakat umumnya, maka Sosiologi Agama
bertugas mencapai keterangan-keterangan ilmiah tentang masyarakat Agama.[5]
Sosiologi Agama menjadi disiplin ilmu
tersendiri sejak munculnya karya Max Weber[6] dan
Emile Durkheim[7].
Jika tugas dari Sosiologi Umum adalah untuk mencapai hukum kemasyarakatan yang
seluas-luasnya, maka tugas dari sosiologi agama adalah untuk mencapai
keterangan-keterangan ilmiah tentang masyarakat agama khususnya.
Masyarakat agama tidak lain ialah suatu
persekutuan hidup (baik dalam lingkup sempit maupun luas) yang unsur konstitutif
utamanya adalah agama atau nilai-nilai keagamaan.
Jika teologi mempelajari agama dan masyarakat
agama dari segi “supra-natural”, maka Sosiologi Agama mempelajarinya dari sudut
empiris sosiologis. Dengan kata lain, yang akan dicari dalam fenomena agama itu
adalah dimensi sosiologisnya. Sampai seberapa jauh agama dan nilai keagamaan
memainkan peranan dan berpengaruh atas eksistensi dan operasi masyarakat. Lebih
konkrit lagi, misalnya, seberapa jauh unsur kepercayaan mempengaruhi pembentukan
kepribadian pemeluk-pemeluknya ikut mengambil bagian dalam menciptakan
jenis-jenis kebudayaan, mewarnai dasar-dasar haluan negara, memainkan peranan
dalam munculnya strata (lapisan) sosial, seberapa jauh agama ikut mempengaruhi
proses sosial, perubahan sosial, fanatisme dan lain sebagainya.
2.2 Sasaran
dan Fungsi Sosiologi Agama
A. Sasaran
sosiologi agama
Ada beberapa sasaran atau objek dalam sosiologi
agama diantaranya yaitu :
1.
Sasaran langsung (objek
material)
Sasaran
langsung atau obyek material sosiologi agama ialah masyarakat agama. Masyarakat
agama adalah suatu persekutuan hidup baik dalam lingkungan sempit atau luas
yang unsur konstitutif utamanya adalah agama atau nilai-nilai keagamaan.
Masyarakat agama terdiri dari komponen-komponen konstitutif. Misalnya kelompok
keagamaan atau institusi-institusi religius yang mempunyai ciri tertentu
menurut peraturan dan norma-norma yang ditentukan oleh agama. Masyarakat agama
yang seperti itu akan terus disoroti struktur dan fungsinya, pengaruhnya
terhadap masyarakat umum dan atas stratifikasi sosial khususnya. Hal itu
disebabakan oleh adanya kesadaran kelompok religius yang mempunyai sifat
tersendiri, untuk mengkaji perubahan-perubahan yang disebabkan oleh agama, baik
yang positif maupun yang negatif. Seperti kerukunan antar golongan agama dan
konflik-konflik yang sering terjadi.
Menurut
Keith A. Roberts, sasaran (objek) kajian sosiologi agama adalah memfokuskan
kajian pada:
a). Kelompok-kelompok dan lembaga keagamaan,
yang meliputi pembentukannya, kegiatan demi kelngsungan hidupnya, pemeliharaan
dan pembaharuannya.
b). Perilaku individu dalam kelompok-kelompok
tersebut atau proses sosial yang mempengaruhi status keagamaan dan perilaku
ritual.
c). Konflik antar kelompok, misalnya katholik
lawan protestan, kristen dengan islam dan sebagainya. Bagi sosiolog kepercayaan
adalah satu bagian kecil dari aspek agama yang menjadi perhatiaanya.
Bila
dikatakan bahwa yang menjadi sasaran sosiologi agama adalah masyarakat
agama, sesungguhnya yang dimaksud bukanlah agama sebagai suatu sistem (dogma
dan moral), tetapi agama sebagai fenomena sosial, sebagai fakta sosial yang
dapat dilaksanakan dan dialami oleh orang banyak. Ilmu ini hanya menkonstatasi
akibat empiris kebenaran-kebenaran supra empiris, yaitu yang disebut dengan
istilah masyarakat agama, dan itulah sasaran langsung dari sosiologi agama.[8]
2.
Sudut Pendekatan (objek
formal)
Yang
hendak dicari dalam fenomena agama itu adalah dimensi sosiologisnya. Sampai
seberapa jauh agama dan nilai-nilai keagamaan memainkan peranan dan berpengaruh
atas eksistensi dan operasi masyarakat manusia. Lebih konkrit misalnya,
seberapa jauh unsur kepercayaan mempengaruhi pembentukkan kepribadian
pemeluk-pemeluknya, ikut menciptakan jenis-jenis kebudayaan, mewarnai dasar dan
haluan negara, memainkan peranan dalam memunculkan strata sosial. Jadi hal-hal
tersebut dalam contoh di atas yang berkaitan erat dengan masalah agama,
Sosiologi Agama menyorotinya dari sudut pandang sosiologis. Sosiologi agama
melalui pengamatan dan penelitian mau mencari keterangan-keterangan ilmiah
untuk dipergunakan sebagai sarana meningkatkan daya guna dan fungsi agama itu
sendiri demi kepentingan masyarakat agama yang bersangkutan khususnya dan
masyarakat luas umumnya.
B. Fungsi Sosiologi Agama
Munculnya
Sosiologi Agama dalam forum keilmuan merupakan suatu sumbangan yang tidak kecil
bagi instansi keagamaan. Sebagaimana Sosiologi Positif telah membuktikan daya
gunanya dalam hal mengatasi kesulitan yang muncul dalam masyarakat serta
menunjukkan cara-cara ilmiah untuk perbaikan dan pengembangan masyarakat,
demikian pula Sosiologi Agama bermaksud membantu para pemimpin agama dalam
mengatasi masalah-masalah sosio-religius yang tidak kalah beratnya dengan
masalah-masalah sosial non keagamaan. Dalam bidang teoritis di mana para ahli
keagamaan merupakan konsep-konsep dan resep-resep ilmiah praktis yang sulit
diperoleh dari teologi, maka Sosiologi Agama dapat memberikan sumbangannya.
Terutama Sosiologi Agama Kristen yang ternyata sudah lebih maju dari pada Sosiologi
Agama di luar Agama Kristen, dapat memberikan sumbangan yang berharga khususnya
kepada teologi tentang Gereja (ekklesiogi), kepada misiologi, dan tidak kurang
kepada teologi pastoral, pun pula kepada teologi pembebasan dan teologi
pembangunan.
Jika
kita telah satu persatu, fungsi utama agama adalah mengurangi kegelisahan,
memantapkan kepercayaan kepada diri sendiri dan yang terpenting adalah
memelihara keadaan manusia agar tetap siap menghadapi realitas. Namun, ada yang
juga yang mengatakan bahwa fungsi agama adalah peran agama dalam mengatasi
persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat yang tidak dapat dipecahkan secara
empiris karena adanya keterbatasan kemampuan dan ketidakpastian. Oleh karena
itu, diharapkan agama menjalankan fungsinya sehingga masyarakat merasa
sejahtera, aman, stabil, dan sebagainya. Dalam bidang teoritis dimana para ahli
keagamaan memerlukan konsep-konsep dan resep ilmiah praktis yang sulit
diperoleh dari teologi, maka sosiologi agama dapat memberikan sumbangannya.
Pada
prinsipnya sosiologi agama sama dengan sosiologi umum yang membedakannya adalah
obyek materinya. Sosiologi umum membicarakan semua fenomena yang ada dalam
masyarakat secara umum, sedangkan sosiologi agama membicarakan salah satu aspek
dari berbagai fenomena sosial yaitu agama dalam perwujudan agama. Sosiologi
agama memusatkan perhatiannya terutama untuk memahami makna yang diberikan
suatu masyarakat kepada sistem agamanya sendiri, dan berbagai hubungan antar
agama dengan struktur sosial lainnya, juga dengan berbagai aspek budaya yang
bukan agama seperti magic, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam
kehidupan masyarakat pedesaan agama masih berperan dalam berbagai aspek
kehidupan, bahwa hampir disetiap kegiatan selalu melibatkan agama baik itu
dalam ekonomi, pendidikan, politik dan sosial lainnya. Berbeda dengan
masyarakat perkotaan kecil, pada masyarakat seperti ini agama mulai kurang
peranannya dalam aspek-aspek kehidupan tertentu. Ide-ide modernisasi selalu
terhambat oleh pemikiran-pemikiran keagamaan yang membatasi kreativitas bebas
dalam melaksanakan pembaruan sosial. Apalagi di masyarakat kota metropolitan,
pada masyarakat seperti ini peran agama hampir hanya dalam kehidupan individu
dan keluarga saja.
Sosiologi
agama memberikan kontribusi yang tidak kecil lagi bagi instansi keagamaan.
Sebagai sosiologi positif ia telah membuktikan daya gunanya dalam hal mengatasi
kesulitan-kesulitan yang muncul dalam masyarakat serta menunjukkan cara-cara
ilmiah untuk perbaikan dan pengembangan masyarakat, demikian juga sosiologi
agama bermaksud membantu para pemimpin agama dalam mengatasi masalah-masalah
sosio-religius yang tidak kalah beratnya dengan masalah-masalah sosial non keagamaan,
memberikan pengetahuan tentang pola-pola interkasi social keberagamaan yang
terjadi dalam masyarakat, membantu kita untuk mengontrol atau mengendalikan
setiap tindakan dan perilaku keberagamaan kita dalam kehidupan bermasyarakat,
dengan bantuan sosiologi agama, kita akan semakin memahami nilai-nilai, norma,
tradisi dan keyakinan yang dianut oleh masyarakat lain serta memahami
perbedaan yang ada. Tanpa hal itu, mejadi alas an untuk timbulnya konflik di
antara umat beragama, membuat kita lebih tanggap, kritis dan rasional untuk
mengahadapi gejala-gejala social keberagamaan masyarakat, serta kita dapat
mengambil tindakan yang tepat dan akurat terhadap setiap situasi social yang
kita hadapi.[9]
2.3
Sejarah berkembangnya sosiologi agama
Kelahiran
sosiologi lazimnya dihubungkan dengan seorang ilmuwan Perancis bernama Auguste
Comte (1798-1857), yang dengan kreatif telah menyusun sintesa berbagai macam
aliran pemikiran, kemudian mengusulkan mendirikan ilmu tentang masyarakat
dengan dasar filsafat empirik yang kuat. ilmu tentang masyarakat ini pada
awalnya oleh Auguste Comte diberi nama ”social physics” (fisika sosial),
kemudian dirubahnya sendiri menjadi ”sociology” karena istilah fisika sosial
tersebut dalam waktu yang hampir bersamaan ternyata dipergunakan oleh seorang
ahli statistik sosial berasal dari Belgia bernama Adophe Quetelet. Selanjutnya
Auguste Comte dikenal sebagai ”bapak” sosiologi. Fenomena agama sudah mulai
tumbuh sekitar pertengahan abad ke-19 oleh sejumlah sarjana Barat terkenal
seperti Edward B.Taylor (1832-1917), Herbert Spencer (1820-1903), Friedrich
H.Muller (1823-1917), Sir James G.Fraser (1854-1941). Tokoh-tokoh ini lebih
tertarik kepada agama-agama primitif. Namun pengkajian masalah agama secara
ilmiah dan terbina baru mulai sekitar 1900. Mulai saat itu hingga menjelang
1950 muncullah buku-buku sosiologi agama yang sering disebut sosiologi agama
klasik. Periode klasik ini dikuasai oleh dua orang sosiolog yang terkenal yaitu
Emile Durkheim dari Perancis (1858-1917) dan Max Weber dari Jerman (1864-1920).
Dua sarjana ini lazim dipandang sebagai pendiri sosiologi agama.
[10]Sesudah
Perang Dunia II tumbuh perkembangan baru. Dalam arus sosiologi klasik itu munculah
suatu minat yang kuat dari sebagian besar ahli sosiologi yang ditujukan kepada
kehidupan agama di dalam gereja. Maka lahirlah sosiologi gereja. Tujuan
penelitian para peminat semata-mata diarahkan dalam bidang kehidupan gereja dan
hasilnya dimaksudkan untuk kepentingan gereja, khususnya dalam menentukan
kebijaksanaan baru. Berkaitan dengan pengambilan kebijaksanaan itu para
peneliti cukup cepat menyadari bahwa pelayanan pastoral dirasa sebagai kunci
utama untuk mendatangkan perbaikan. Maka cukup cepat kegiatan penelitian
dipusatkan pada pelayanan pastoral. Lalu muncullah apa yang dinamakan sosiologi
pastoral.
Ternyata
usaha itu mendatangkan hasil yang positif. Maka sosiologi pastoral itu mendapat
gairah lebih besar lagi dan mengalami perkembangan bagus. Bahkan, di beberapa
negara (Perancis, Jerman, dan Belanda) didirikan lembaga khusus untuk
penelitian kehidupan sosial gerejani. Hasil
positif dari sosiologi gereja dan sosiologi pastoral di atas ternyata
menumbuhkan sikap-sikap baru dari peminatnya. Entah disadari entah tidak
Sosiologi Agama (yang bercorak gerejani) ini memisahkan diri dari sosiologi
umum.
[11]Namun sekitar tahun 1960-an terjadi perkembangan lain. Sosiologi
gereja mengalami frustasi dan kemunduran, bahkan akhirnya berhenti untuk
nantinya muncul kembali dalam bentuk baru. Menurut para paninjau yang kompeten
memang terdapat alasan-alasan yang cukup kuat menyebabkan hal tersebut, antara
lain:
a)
Pimpinan Gereja umumnya merasa tidak mendapatkan apa yang mereka harapkan
semula. Hal ini membawa akibat yang tidak menguntungkan. Jelasnya, dukungan
dari pihak pimpinan gereja berkurang.
b)
Sementara itu kalangan para sosiolog (dari Sosiologi Umum) tidak tinggal
diam. Mereka menilai dan mengeluarkan pendapat mereka, bahwa cara kerja dan
hasil kerja para sosiolog gerejani kurang bermutu ilmiah. Mutunya paling tinggi
hanya sejajar dengan karangan yang berbobot deskripsi dan sosiografi.
Sementara
itu pengertian tentang sasaran dan lingkup sosiologi agama di pandang perlu
untuk diperluas, dan hanya di persempit pada Gereja saja. Sebab dalam
pengertian agama termasuk juga pengertian iman atau kepercayaan. Gereja hanya
merupakan salah satu bentuk kepercayaan tertentu. Maka disimpulkan bahwa mulai
saat itu penelitian sosial keagamaan tidak boleh terbatas pada kehidupan
gerejani saja. Tetapi harus mencakup semua bentuk kepercayaan yang ada di luar
Gereja.
Berdasarkan
timbangan-timbangan di atas terjadilah perubahan alam sikap sosiologi agama.
Pertama, Sosiologi Agama menjauhkan diri dari Gereja dan kembali pada pangkuan Sosiologi
Umum. Kedua, sosiologi agama mengadakan langkah baru menuju kepada
tercapainya pengetahuan yang sungguh bersifat ilmu. Untuk itu dirasa perlu
mengadakan koreksi-koreksi mengenai : sasaran, metodologi dan problematikanya.
Sasarannya
Pengertian
agama harus diambil dalam arti luas. Termasuk lingkup ini ialah masalah apakah
agama itu berbentuk institusi (misalnya Gereja) atau bukan institusi. Dalam ini
pandangan modern dari seorang ahli Sosiologi Peter L. Berger dari Amerika
Serikat bersama dengan Thomas Luck Mann dari Jerman mendapat dukungan penuh
dari kalangan ahli sosiologi yang mau disebut modern.
Metodologi baru
Metode
deskriptif tidak memadai lagi untuk menangani sasaran baru (agama dalam arti
luas). Untuk menjawab problem teoritis “ apakah agama itu ?” perlu ditempuh
metode baru. Metode baru ini harus memungkinkan jawaban atas persoalan lebih
lanjut : bagaimana permainan timbal balik antara nilai-nilai keagamaan dan
dinamika sosio budaya setempat, suatu hal yang aktual yang menuntut keterangan
lebih jelas.
Problematik baru
Sejak
tahun 1970-an Sosiologi Agama menghadapi problematik baru yang menyangkut
aspek-aspek sebagai berikut :
-
Lingkup tinjauan Sosiologi Agama harus diperluas. Tegasnya tidak hanya
menangani agama-agama institusional saja. Tetapi mencakup semua agama (termasuk
nonkonstitusional) yang sungguh memberi pengaruh nyata atas kehidupan manusia
dan masyarakatnya.
-
Masalah pengertian agama dan makna agama. Apakah dalam hal ini ada
perubahan? Untuk mengatasi kesulitan ini perlu terlebih dahulu diadakan
pertanyaan kepada penganut-penganut agama yang berbeda-beda apa sesungguhnya
yang mereka maksud dengan agama.
-
Apabila setiap orang atau kelompok mempunyai pengertian yang jauh berbeda
satu dengan yang lain, hal tersebut akan menimbulkan kesulitan baru dalam
menentukan batas-batas pengertiannya.
-
Apabila pengertian baru agama sudah
dirumuskan setepat-tepatnya dalam
definisi yang baru dengan sendirinya akan timbul problematika baru tentang cara
pendekatannya.
o Sosiologi tentang Gereja di Eropa
Dalam
uraian diatas telah dikemukakan bahwa sosiologi agama sudah periode klasik
berkembang menjadi sosiologi tentang Gereja. Untuk mengenai Sosiologi Gereja di
Eropa akan diperkenalkan beberapa tokoh penting. Di Prancis. Dari negara yang
sebagian beragama katolik patut disebut nama Gabriel Le Bras. Karena
dialah perintis dan pendorong Sosiologi Agama ( dalam arti Gereja) di Eropa
selatan. Dia tergerak oleh kedua kenyataan yang saling bertolak belakang
tentang negaranya.
Untuk
negara Belgi patut disebut nama J. Leclercg yang sejak tahun 1941
bergiat dalam sosiologi agama (Gereja). Dia dikenal lagi sebagai seorang
pemrakarsa berdirinya kongres Internasional Sosiologi Agama 1948. Pusat
kegiatannya ialah Universitas Leuven. Di Jerman. Pengantar
sosiologi Agama yang lebih sistematis diterbitkan oleh Joachim Wach (1931) dan
Gustave Mensching (1944). Namun keduannya masih bermutu sejarah agama
dari pada sosiologi agama.
Di Nederland. Penelitian
sosiografis tentang hidup religius dimulai oleh Steinmatz. Dari kehidupan agama
di Nederland juga dalam mengkaji masalah “Agama dan kesadaran kelompok”. Dari
negeri ini muncul suatu majalah “social kompas” dalam tahun 1950, yang
kemudian mulai tahun 1960 ditingkatkan menjadi majalah internasional mengenai
studi sosio-keagamaan dengan nama “social compass”. Di Itali. Dorongan
pertama untuk mempelajari masalah hidup religius datang dari seorang uskup di
Mantua (1935). Muncullah kemudian sebuah buku statistik umat gereja yang
disusun oleh Blodrini, Filograsi.
o Sosiologi Gereja di Amerika Serikat
Baiklah
diketahui bahwa dari kalangan para sosiolog sendiri yang sungguh ahli dalam
bidang ini sebagian besar tidak tertarik kepada sosiologi agama sebelum Perang
Dunia II. Mereka memandang agama sebagai suatu bentuk kelambanan kultural, yang
tidak “bermanfaat” untuk dipelajari, karena pengkajiannya tidak akan memberikan
sumbangan yang berarti bagi pembangunan masyarakat yang rasional. Baru sesudah
Perang Dunia II terdapat perubahan dalam sikap tersebut, dan minat kepada sosiologi
agama mulai bertumbuh, praduga yang kurang baik mulai berkurang didesak oleh
pandangan yang positif. (dan sistematis). Dorongan terbesar untuk merefleksi
kehidupan agama secara sosiologis yang mendalam diberikan oleh R.K. Merton dan
T. Parsons, dan ahli sosiologi ternama, yang ternayata berhasil meyakinkan
bukan saja kalangan sosiolog tetapi juga kalangan Gereja.
Dari
kalangan Katolik pada tahun 1938 kalangan sarjana katolik mendirikan
suatu organ yang diberi nama “The American Catholic Sociological Society”.
Tujuan yang ingin dicapai organ ini ada dua hal, pertama, memberikan
karangan-karangan ilmiah mengenai teoro-teori sosiologis di penelitian dalam
lapangan keagamaan, dan kedua sebagai sarana kontak antara para sosiolog
katolik sendiri atau pada awal penerbitannya ternyata karangan-karangannya
sebagian besar masih bersifat filosofis, namun dalam kurun waktu selanjutnya
dapat mengubah corak itu menjadi positif empiris, sehingga majalah tersebut
pada tahun 1964 berganti nama menjadi “Sociological Analysis”.
o Kuncup-kuncup Sosiologi Agama di Indonesia
Sejalan
dengan pertumbuhan Sosiologi Umum di negara kita yang masih dalam hidup
permulaan maka dapat di mengerti bahwa masih terdapat kekosongan di bidang
Sosiologi Agama. Hal ini disadari kalangan para ahli ilmu sosial dan tidak
kurang dari Dr. Mukti Ali (bekas menteri Agama RI). Beliau menganjurkan para
sarjana Indonesia supaya mengadakan penelitian dalam bidang masalah kehidupan
agama.
Terlepas
dari himbauan Mukti Ali sementara itu telah muncul dalam peredaran sebuah buku
yang berjudul “profil pesantren” oleh Sudjoko dkk. LP3ES Jakarta (1974) dari
sebuah buku lain “pesantren dan pembaharuan”. Dua buku tersebut menyingkap
bentuk, kehidupan keagamaan islam dalam ruang lingkup kecil yang disebut
pesantren (oleh Abdul Rahman Wahid pernah disebut sebagai subkultur) dikatakan
menyingkapkan karena dalam kurun waktu cukup lama dalam pendidikan itu beserta
sistem pendidikannya berjalan di luar arus pendidikan umum tertutup bagi dunia
luar. Meskipun isi uraian yang disajikan secara formal tidak dapat disebut
sosiologi agama dalam arti sesungguhnya namun harus diakui bahwa apa yang telah
di kerjakan oleh penulis-penulisnya yang di sponsori Lembaga Penelitian,
Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) tersebut harus disambut
dengan rasa gembira. Karena bagaimanapun nilainya mereka telah menanamkan
benih-benih yang dapat menumbuhkan rangsangan ke arah penelitian yang
diinginkan Sosiologi Agama untuk masa depan.
Dari
kalangan Gereja Katolik. Langkah-langkah yang telah diambil Universitas Katolik
Atma Jaya Jakarta Patut disambut dengan rasa syukur. Universitas tersebut pada
tahun 1972 mendirikan suatu pusat penelitian yang diberi nama Pusat Penelitian
Atma Jaya (PPA) Jakarta dan diberi tugas
untuk mengadakan penelitian masalah sosial kegerejaan yang berkaitan
dengan perkembangan gereja katolik di
indonesia. Tujuan tersebut dituangkan dalam beberapa program. PPA tersebut juga bermaksud mengadakan
perpustakaan dan dokumentasi khusus yang meliputi buku, laporan, karangan dan
majalah yang berkenaan dengan bidang penelitian sosial kegerejaan dan bidang
yang bertalian.
Di
jelaskan bahwa pemerintah mempunyai tugas dan wewenang dibidang kehidupan beragama
para warga negara, bukan dalam arti yang menyangkut perkembangan atau pertemuan
manusia dengan tuhan, melainkan sejauh agama itu sudah merupakan fakta sosial
di masyarakat indonesia. Sejauh itu maka agama dapat dipelitakan, supaya agama
sebagai unsur pembangunan yang di PELITA kan dapat mengembangkan fungsinya
dengan baik dan terarah.[12]
Dari tinjauan singkat di atas dapat disimpulkan bahwa dibidang Sosiologi Agama
di negara kita baru di dapati kuncup-kuncup kecil yang mudah-mudahan dapat
berkembang menjadi bunga yang menghasilkan buah yang berarti.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sosiologi
secara umum adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat secara empiris
untuk mencapai hukum kemasyarakatan yang seumum-umumnya. Sosiologi agama
merupakan studi tentang fenomena sosial dan memandang fenomena agama sebagai
fenomena sosial. Sosiologi agama selalu berusaha untuk menemukan
prinsip-prinsip umum mengenai hubungan agama dengan masyarakat. Ia adalah suatu
cabang sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna
mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti, demi kepentingan masyarakat
agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.
3.2 Saran
Dalam
kepenulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat
kekurangan bahan atau kekurangan di berbagai hal. Maka dari itu penulis
mengharapkan kritik atau saran yang membangun untuk penulis agar kiranya dapat
memberi semangat kepada penulis untuk lebih baik lagi dalam kepenulisan selanjutnya
DAFTAR PUSTAKA
Hendropuspito, Sosiologi
Agama, Yogyakarta, Kanisius, 1983
Kahmad,
Dadang, Sosiologi Agama, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2006
http://www.google.com
[1]
http://orthevie.wordpress.com/2010/02/13/pengertian-tempat-fungsi-dan-aliran-aliran-serta-metode-penelitian-dalam-sosiologi-agama/
[2]
http://orthevie.wordpress.com/2010/02/13/pengertian-tempat-fungsi-dan-aliran-aliran-serta-metode-penelitian-dalam-sosiologi-agama/
[3] Drs. D.
Hendropuspito, O.C. Sosiologi Agama
[4] Dr. H.Goddijn.Dr.W.Goddijn,Sosiologie
van kerk en Godsdienst, utrecht,Antwerpen. P. 36
[5] Drs. D.
Hendropuspito, O.C. Sosiologi Agama, hlm.8.
[6] Max
Weber. The Sociology Of Religion, trans, by Ephraim fischoff Beacon
press Boston : 1963
[7] Emile
Durkheim, The Elementary Forms Of the
Religious Life, trans. By. Joseph ward swain (Glencoe, III : The Free
Press, 1954 : George Allen & unwin Ltd)
[8] Drs. D.
Hendropuspito, O.C. Sosiologi Agama, hlm. 9.
[9] Drs. D.
Hendropuspito, O.C. Sosiologi Agama, hlm.
10-11.
[10]
Disarikan dari laporan Een Kongres van Godsdienst Sociologen dalam Theologie en Pastoral
No. 5, 1973 oleh A.L Ryken- Hoeven, G, Dekker, hlm. 293-301
[11] Drs. D.
Hendropuspito, O.C. Sosiologi Agama,
hlm.15-21
[12] Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama-Departemen
Agama- telah menerbitkan 2 buku yang dapat dipandang sebagai karya ilmiah
Sosiologi Agama.