Tuesday 2 October 2012

Sosiologi Agama

 BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
            Agama merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan masyarakat yang perlu dipelajari oleh antropolog ataupun para ilmuwan sosial lainnya. Di dalam kehidupan masyarakat, agama muncul karena sifat ketauhidan masyarakat tersebut. Oleh karena itu agama perlu dipelajari dan dihayati oleh manusia karena kebutuhan manusia terhadap sang maha pencipta. Di dalam agama dijumpai ungkapan materi dan budaya dalam tabi’at manusia serta dalam sistem nilai, moral, etika, kajian agama, khususnya agama islam merupakan kebutuhan hidup bagi masyarakat indonesia, khususnya mayoritas. Oleh karena itu, kajian agama seperti Islam, Budha, Hindu, tidak hanya sebatas konsep saja, teori dan aspek-aspek kehidupan manusia beserta hukumnya, tapi harus dihayati dan direnungi untuk diamalkan dalam kehidupan manusia. Ide-ide keagamaan dan konsep-konsep keagamaan itu tidak dipaksa oleh hal-hal yang bersifat fisik tapi bersifat rohani. Karenanya agama merupakan suatu institusi ajaran yang menyajikan lapangan ekspresi dan implikasi yang begitu halus dan berbeda dengan suatu konsep hukum ataupun undang-undang yang dibuat oleh masyarakat.

B.   Tujuan
Tujuan mempelajari Sosiologi Agama adalah untuk mengetahui keadaan sosial dan agama-agama yang ada di lingkungan sekitar kita. Guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti, demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.
            Makalah  ini kami persentasikan pada tanggal 18 November 2012,  berdasarkan materi pembahasan dalam Sosiologi Agama yaitu Pengertian, Sasaran, Fungsi, dan Sejarah dalam Sosiologi Agama. Sebelum kami membahas makalah ini, kami akan memperkenalkan nama-nama kelompok kami, kelompok 1 yaitu :
1.      Sholihul Hady
2.      Suci Wisdiniati
3.      Uswatun Hasanah
4.      Lukluiyah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1       Pengertian Sosiologi Agama
            Secara Etimologi / harfiah atau berdasarkan makna kata sosiologi berasal dari dua suku kata yaitu dari kata Latin “ Socius “yang berarti kawan dan kata Yunani “Logos “ yang berarti kata fikiran atau ilmu pengetahuan.atau berbicara jadi menurut Auguste Comte Sosiologi berarti “ berbicara mengenai masyarakat “.Secara terminologi Sosiologi ialah ilmu pengetahuan tentang pergaulan hidup manusia, yaitu hubungan perseorangan dengan golongan, hubungan golongan dengan golongan. Sosiologi juga dapat diartikan sebagai ilmu tentang perilaku sosial ditinjau dari kecenderungan individu dengan individu lain, dengan memperhatikan simbol-simbol interaksi.
Ada tiga istilah yang dikenal tentang agama, yaitu: agama, religi dan din. Secara etimologi, kata agama berasal dari bahasa Sangsekerta, yang berasal dari akar kata gam artinya pergi. Kemudian akar kata gam tersebut mendapat awalan a dan akhiran a, maka terbentuklah kata agama artinya jalan. Maksudnya, jalan untuk mencapai kebahagiaan.
Di samping itu, ada pendapat yang menyatakan bahwa kata agama berasal dari bahasa Sangsekerta yang akar katanya adalah a dan gama. A artinya tidak dan gama artinya kacau. Jadi, agama artinya tidak kacau atau teratur. Maksudnya, agama adalah peraturan yang dapat membebaskan manusia dari kekacauan yang dihadapi dalam hidupnya, bahkan menjelang matinya. Sedangkan secara terminologi, agama dan religi ialah suatu tata kepercayaan atas adanya yang Agung di luar manusia, dan suatu tata penyembahan kepada yang Agung tersebut, serta suatu tata kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan yang Agung, hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam yang lain, sesuai dengan tata kepercayaan dan tata penyembahan tersebut.
Agama dalam arti sempit ialah seperangkat kepercayaan, dogma, peraturan etika, praktek penyembahan, amal ibadah, terhadap tuhan atau dewa-dewa tertentu. Dalam arti luas, agama adalah suatu kepercayaan atau seperangkat nilai yang menimbulkan ketaatan   pada seseorang atau kelompok tertentu kepada sesuatu yang mereka kagumi, cita-citakan dan hargai[1]
            Jika berbicara mengenai definisi Sosiologi Agama, maka ada beberapa hal yang kami singgung dalam pembahasan ini, di antaranya adalah mengenai pengertian Sosiologi, Agama, prinsip sosiologi, dan objek kajian Sosiologi Agama. Sosiologi secara umum adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat secara empiris untuk mencapai hukum kemasyarakatan yang seumum-umumnya.
            Sosiologi agama merupakan studi tentang fenomena sosial dan memandang fenomena agama sebagai fenomena sosial. Sosiologi agama selalu berusaha untuk menemukan prinsip-prinsip umum mengenai hubungan agama dengan masyarakat. Ia adalah suatu cabang sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti, demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.
            Namun menurut ahli sosiologi J.Milton Yinger memandang agama sebagai sistem kepercayaan dan praktik dengan mana suatu masyarakat atau kelompok manusia berjaga-jaga menghadapi masalah terakhir dari hidup ini. Sedangkan menurut J. Wach dalam agama ada tiga aspek yang perlu di perhatikan yaitu : Aspek teoritis, bahwa agama adalah sistem kepercayaan. Kedua aspek praktis, bahwa agama merupakan sistem kaidah yang mengikat penganutnya. Ketiga aspek sosiologis, bahwa agama merupakan sistem interaksi sosial. Banyak sekali pengertian atau makna sosiologi agama yang dipaparkan oleh para tokoh sosiologi. Dimana ilmu sosiologi agama merupakan bagian atau cabang dari sosiologi umum, sehingga tokoh atau para ilmuwan sosial yang berkicambung didalam ilmu sosiologi juga ikut memberikan masukan serta pemikiran dalam memaknai atau memberikan pengertian sosiologi agama.
Ada beberapa definisi Sosiologi Agama, di antaranya adalah:
  1. Sosiologi agama adalah ilmu yang membahas tentang hubungan antara berbagai kesatuan masyarakat, perbedaan atau masyarakat secara utuh dengan berbagai sistem agama, tingkat dan jenis spesialisasi berbagai peranan agama dalam berbagai masyarakat dan system keagamaan yang berbeda.
  2. Sosiologi agama adalah studi tentang fenomena sosial, dan memandang agama sebagai fenomena sosial. Sosiologi agama selalu berusaha untuk menemukan pinsip-prinsip umum mengenai hubungan agama dengan masyarakat.
  3. Sosiologi Agama adalah suatu cabang sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti, demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.[2]
Pengertian sosiologi agama menurut para ahli:
  • Drs. D. Hendropuspito, O.C[3] dalam bukunya "Sosiologi Agama" menerangkan bahwa sosiologi agama adalah suatu cabang sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.
  • Sosiologi agama mempelajari peran agama di dalam masyarakat; praktik, latar sejarah, perkembangan dan tema universal suatu agama di dalam masyarakat
  • Menurut Dr. H. Goddijn[4] Sosiologi Agama ialah bagian dari Sosiologi Umum (versi Barat) yang mempelajari suatu ilmu budaya empiris, profan dan positif yang menuju pada pengetahuan umum, yang jernih dan pasti dari struktur, fungsi-fungsi dan perubahan-perubahan kelompok keagamaan dan gejala-gejala kelompok kegamaan.
Sosiologi Agama ialah suatu cabang Sosiologi Umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnnya. Segi-segi penting yang hendak ditonjolkan dalam definisi itu antara lain:
·         Sosiologi Agama adalah cabang dari Sosiologi Umum
·         Sosiologi Agama sama dengan Sosiologi Umum yang benar-benar merupakan suatu ilmu.
·         Tugasnya mencari keterangan ilmiah.
Sosiologi Umum adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat secara empiris untuk mencapai hukum kemasyarakatan yang seumum-umumnnya. Jadi Sosiologi Umum bertugas mencapai ke hukum kemasyarakatan yang seluas mungkin bagi kehidupan masyarakat umumnya, maka Sosiologi Agama bertugas mencapai keterangan-keterangan ilmiah tentang masyarakat Agama.[5]
Sosiologi Agama menjadi disiplin ilmu tersendiri sejak munculnya karya Max Weber[6] dan Emile Durkheim[7]. Jika tugas dari Sosiologi Umum adalah untuk mencapai hukum kemasyarakatan yang seluas-luasnya, maka tugas dari sosiologi agama adalah untuk mencapai keterangan-keterangan ilmiah tentang masyarakat agama khususnya.
Masyarakat agama tidak lain ialah suatu persekutuan hidup (baik dalam lingkup sempit maupun luas) yang unsur konstitutif utamanya adalah agama atau nilai-nilai keagamaan.
Jika teologi mempelajari agama dan masyarakat agama dari segi “supra-natural”, maka Sosiologi Agama mempelajarinya dari sudut empiris sosiologis. Dengan kata lain, yang akan dicari dalam fenomena agama itu adalah dimensi sosiologisnya. Sampai seberapa jauh agama dan nilai keagamaan memainkan peranan dan berpengaruh atas eksistensi dan operasi masyarakat. Lebih konkrit lagi, misalnya, seberapa jauh unsur kepercayaan mempengaruhi pembentukan kepribadian pemeluk-pemeluknya ikut mengambil bagian dalam menciptakan jenis-jenis kebudayaan, mewarnai dasar-dasar haluan negara, memainkan peranan dalam munculnya strata (lapisan) sosial, seberapa jauh agama ikut mempengaruhi proses sosial, perubahan sosial, fanatisme dan lain sebagainya.
2.2       Sasaran dan Fungsi Sosiologi Agama
            A. Sasaran sosiologi agama
Ada beberapa sasaran atau objek dalam sosiologi agama diantaranya yaitu :
1.      Sasaran langsung (objek material)
Sasaran langsung atau obyek material sosiologi agama ialah masyarakat agama. Masyarakat agama adalah suatu persekutuan hidup baik dalam lingkungan sempit atau luas yang unsur konstitutif utamanya adalah agama atau nilai-nilai keagamaan. Masyarakat agama terdiri dari komponen-komponen konstitutif. Misalnya kelompok keagamaan atau institusi-institusi religius yang mempunyai ciri tertentu menurut peraturan dan norma-norma yang ditentukan oleh agama. Masyarakat agama yang seperti itu akan terus disoroti struktur dan fungsinya, pengaruhnya terhadap masyarakat umum dan atas stratifikasi sosial khususnya. Hal itu disebabakan oleh adanya kesadaran kelompok religius yang mempunyai sifat tersendiri, untuk mengkaji perubahan-perubahan yang disebabkan oleh agama, baik yang positif maupun yang negatif. Seperti kerukunan antar golongan agama dan konflik-konflik yang sering terjadi.
Menurut Keith A. Roberts, sasaran (objek) kajian sosiologi agama adalah memfokuskan kajian pada:
a). Kelompok-kelompok dan lembaga keagamaan, yang meliputi pembentukannya, kegiatan demi kelngsungan hidupnya, pemeliharaan dan pembaharuannya.
b). Perilaku individu dalam kelompok-kelompok tersebut atau proses sosial yang mempengaruhi status keagamaan dan perilaku ritual.
c). Konflik antar kelompok, misalnya katholik lawan protestan, kristen dengan islam dan sebagainya. Bagi sosiolog kepercayaan adalah satu bagian kecil dari aspek agama yang menjadi perhatiaanya.
Bila dikatakan bahwa yang menjadi sasaran sosiologi agama adalah masyarakat agama, sesungguhnya yang dimaksud bukanlah agama sebagai suatu sistem (dogma dan moral), tetapi agama sebagai fenomena sosial, sebagai fakta sosial yang dapat dilaksanakan dan dialami oleh orang banyak. Ilmu ini hanya menkonstatasi akibat empiris kebenaran-kebenaran supra empiris, yaitu yang disebut dengan istilah masyarakat agama, dan itulah sasaran langsung dari sosiologi agama.[8]


2.      Sudut Pendekatan (objek formal)
Yang hendak dicari dalam fenomena agama itu adalah dimensi sosiologisnya. Sampai seberapa jauh agama dan nilai-nilai keagamaan memainkan peranan dan berpengaruh atas eksistensi dan operasi masyarakat manusia. Lebih konkrit misalnya, seberapa jauh unsur kepercayaan mempengaruhi pembentukkan kepribadian pemeluk-pemeluknya, ikut menciptakan jenis-jenis kebudayaan, mewarnai dasar dan haluan negara, memainkan peranan dalam memunculkan strata sosial. Jadi hal-hal tersebut dalam contoh di atas  yang berkaitan erat dengan masalah agama, Sosiologi Agama menyorotinya dari sudut pandang sosiologis. Sosiologi agama melalui pengamatan dan penelitian mau mencari keterangan-keterangan ilmiah untuk dipergunakan sebagai sarana meningkatkan daya guna dan fungsi agama itu sendiri demi kepentingan masyarakat agama yang bersangkutan khususnya dan masyarakat luas umumnya.
B.   Fungsi Sosiologi Agama
Munculnya Sosiologi Agama dalam forum keilmuan merupakan suatu sumbangan yang tidak kecil bagi instansi keagamaan. Sebagaimana Sosiologi Positif telah membuktikan daya gunanya dalam hal mengatasi kesulitan yang muncul dalam masyarakat serta menunjukkan cara-cara ilmiah untuk perbaikan dan pengembangan masyarakat, demikian pula Sosiologi Agama bermaksud membantu para pemimpin agama dalam mengatasi masalah-masalah sosio-religius yang tidak kalah beratnya dengan masalah-masalah sosial non keagamaan. Dalam bidang teoritis di mana para ahli keagamaan merupakan konsep-konsep dan resep-resep ilmiah praktis yang sulit diperoleh dari teologi, maka Sosiologi Agama dapat memberikan sumbangannya. Terutama Sosiologi Agama Kristen yang ternyata sudah lebih maju dari pada Sosiologi Agama di luar Agama Kristen, dapat memberikan sumbangan yang berharga khususnya kepada teologi tentang Gereja (ekklesiogi), kepada misiologi, dan tidak kurang kepada teologi pastoral, pun pula kepada teologi pembebasan dan teologi pembangunan.
Jika kita telah satu persatu, fungsi utama agama adalah mengurangi kegelisahan, memantapkan kepercayaan kepada diri sendiri dan yang terpenting adalah memelihara keadaan manusia agar tetap siap menghadapi realitas. Namun, ada yang juga yang mengatakan bahwa fungsi agama adalah peran agama dalam mengatasi persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat yang tidak dapat dipecahkan secara empiris karena adanya keterbatasan kemampuan dan ketidakpastian. Oleh karena itu, diharapkan agama menjalankan fungsinya sehingga masyarakat merasa sejahtera, aman, stabil, dan sebagainya.  Dalam bidang teoritis dimana para ahli keagamaan memerlukan konsep-konsep dan resep ilmiah praktis yang sulit diperoleh dari teologi, maka sosiologi agama dapat memberikan sumbangannya.
Pada prinsipnya sosiologi agama sama dengan sosiologi umum yang membedakannya adalah obyek materinya. Sosiologi umum membicarakan semua fenomena yang ada dalam masyarakat secara umum, sedangkan sosiologi agama membicarakan salah satu aspek dari berbagai fenomena sosial yaitu agama dalam perwujudan agama. Sosiologi agama memusatkan perhatiannya terutama untuk memahami makna yang diberikan suatu masyarakat kepada sistem agamanya sendiri, dan berbagai hubungan antar agama dengan struktur sosial lainnya, juga dengan berbagai aspek budaya yang bukan agama seperti magic, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam kehidupan masyarakat pedesaan agama masih berperan dalam berbagai aspek kehidupan, bahwa hampir disetiap kegiatan selalu melibatkan agama baik itu dalam ekonomi, pendidikan, politik dan sosial lainnya. Berbeda dengan masyarakat perkotaan kecil, pada masyarakat seperti ini agama mulai kurang peranannya dalam aspek-aspek kehidupan tertentu. Ide-ide modernisasi selalu terhambat oleh pemikiran-pemikiran keagamaan yang membatasi kreativitas bebas dalam melaksanakan pembaruan sosial. Apalagi di masyarakat kota metropolitan, pada masyarakat seperti ini peran agama hampir hanya dalam kehidupan individu dan keluarga saja.
Sosiologi agama memberikan kontribusi yang tidak kecil lagi bagi instansi keagamaan. Sebagai sosiologi positif ia telah membuktikan daya gunanya dalam hal mengatasi kesulitan-kesulitan yang muncul dalam masyarakat serta menunjukkan cara-cara ilmiah untuk perbaikan dan pengembangan masyarakat, demikian juga sosiologi agama bermaksud membantu para pemimpin agama dalam mengatasi masalah-masalah sosio-religius yang tidak kalah beratnya dengan masalah-masalah sosial non keagamaan, memberikan pengetahuan tentang pola-pola interkasi social keberagamaan yang terjadi dalam masyarakat, membantu kita untuk mengontrol atau mengendalikan setiap tindakan dan perilaku keberagamaan kita dalam kehidupan bermasyarakat, dengan bantuan sosiologi agama, kita akan semakin memahami nilai-nilai, norma, tradisi  dan keyakinan yang dianut oleh masyarakat lain serta memahami perbedaan yang ada. Tanpa hal itu, mejadi alas an untuk timbulnya konflik di antara umat beragama, membuat kita lebih tanggap, kritis dan rasional untuk mengahadapi gejala-gejala social keberagamaan masyarakat, serta kita dapat mengambil tindakan yang tepat dan akurat terhadap setiap situasi social yang kita  hadapi.[9]
2.3 Sejarah berkembangnya sosiologi agama
            Kelahiran sosiologi lazimnya dihubungkan dengan seorang ilmuwan Perancis bernama Auguste Comte (1798-1857), yang dengan kreatif telah menyusun sintesa berbagai macam aliran pemikiran, kemudian mengusulkan mendirikan ilmu tentang masyarakat dengan dasar filsafat empirik yang kuat. ilmu tentang masyarakat ini pada awalnya oleh Auguste Comte diberi nama ”social physics” (fisika sosial), kemudian dirubahnya sendiri menjadi ”sociology” karena istilah fisika sosial tersebut dalam waktu yang hampir bersamaan ternyata dipergunakan oleh seorang ahli statistik sosial berasal dari Belgia bernama Adophe Quetelet. Selanjutnya Auguste Comte dikenal sebagai ”bapak” sosiologi. Fenomena agama sudah mulai tumbuh sekitar pertengahan abad ke-19 oleh sejumlah sarjana Barat terkenal seperti Edward B.Taylor (1832-1917), Herbert Spencer (1820-1903), Friedrich H.Muller (1823-1917), Sir James G.Fraser (1854-1941). Tokoh-tokoh ini lebih tertarik kepada agama-agama primitif. Namun pengkajian masalah agama secara ilmiah dan terbina baru mulai sekitar 1900. Mulai saat itu hingga menjelang 1950 muncullah buku-buku sosiologi agama yang sering disebut sosiologi agama klasik. Periode klasik ini dikuasai oleh dua orang sosiolog yang terkenal yaitu Emile Durkheim dari Perancis (1858-1917) dan Max Weber dari Jerman (1864-1920). Dua sarjana ini lazim dipandang sebagai pendiri sosiologi agama.
            [10]Sesudah Perang Dunia II tumbuh perkembangan baru. Dalam arus sosiologi klasik itu munculah suatu minat yang kuat dari sebagian besar ahli sosiologi yang ditujukan kepada kehidupan agama di dalam gereja. Maka lahirlah sosiologi gereja. Tujuan penelitian para peminat semata-mata diarahkan dalam bidang kehidupan gereja dan hasilnya dimaksudkan untuk kepentingan gereja, khususnya dalam menentukan kebijaksanaan baru. Berkaitan dengan pengambilan kebijaksanaan itu para peneliti cukup cepat menyadari bahwa pelayanan pastoral dirasa sebagai kunci utama untuk mendatangkan perbaikan. Maka cukup cepat kegiatan penelitian dipusatkan pada pelayanan pastoral. Lalu muncullah apa yang dinamakan sosiologi pastoral.
Ternyata usaha itu mendatangkan hasil yang positif. Maka sosiologi pastoral itu mendapat gairah lebih besar lagi dan mengalami perkembangan bagus. Bahkan, di beberapa negara (Perancis, Jerman, dan Belanda) didirikan lembaga khusus untuk penelitian kehidupan sosial gerejani. Hasil positif dari sosiologi gereja dan sosiologi pastoral di atas ternyata menumbuhkan sikap-sikap baru dari peminatnya. Entah disadari entah tidak Sosiologi Agama (yang bercorak gerejani) ini memisahkan diri dari sosiologi umum.
[11]Namun sekitar tahun 1960-an terjadi perkembangan lain. Sosiologi gereja mengalami frustasi dan kemunduran, bahkan akhirnya berhenti untuk nantinya muncul kembali dalam bentuk baru. Menurut para paninjau yang kompeten memang terdapat alasan-alasan yang cukup kuat menyebabkan hal tersebut, antara lain:
a)      Pimpinan Gereja umumnya merasa tidak mendapatkan apa yang mereka harapkan semula. Hal ini membawa akibat yang tidak menguntungkan. Jelasnya, dukungan dari pihak pimpinan gereja berkurang.
b)      Sementara itu kalangan para sosiolog (dari Sosiologi Umum) tidak tinggal diam. Mereka menilai dan mengeluarkan pendapat mereka, bahwa cara kerja dan hasil kerja para sosiolog gerejani kurang bermutu ilmiah. Mutunya paling tinggi hanya sejajar dengan karangan yang berbobot deskripsi dan sosiografi.
Sementara itu pengertian tentang sasaran dan lingkup sosiologi agama di pandang perlu untuk diperluas, dan hanya di persempit pada Gereja saja. Sebab dalam pengertian agama termasuk juga pengertian iman atau kepercayaan. Gereja hanya merupakan salah satu bentuk kepercayaan tertentu. Maka disimpulkan bahwa mulai saat itu penelitian sosial keagamaan tidak boleh terbatas pada kehidupan gerejani saja. Tetapi harus mencakup semua bentuk kepercayaan yang ada di luar Gereja. 
Berdasarkan timbangan-timbangan di atas terjadilah perubahan alam sikap sosiologi agama. Pertama, Sosiologi Agama menjauhkan diri dari Gereja dan kembali pada pangkuan Sosiologi Umum. Kedua, sosiologi agama mengadakan langkah baru menuju kepada tercapainya pengetahuan yang sungguh bersifat ilmu. Untuk itu dirasa perlu mengadakan koreksi-koreksi mengenai : sasaran, metodologi dan problematikanya.

Sasarannya
Pengertian agama harus diambil dalam arti luas. Termasuk lingkup ini ialah masalah apakah agama itu berbentuk institusi (misalnya Gereja) atau bukan institusi. Dalam ini pandangan modern dari seorang ahli Sosiologi Peter L. Berger dari Amerika Serikat bersama dengan Thomas Luck Mann dari Jerman mendapat dukungan penuh dari kalangan ahli sosiologi yang mau disebut modern. 
Metodologi baru
Metode deskriptif tidak memadai lagi untuk menangani sasaran baru (agama dalam arti luas). Untuk menjawab problem teoritis “ apakah agama itu ?” perlu ditempuh metode baru. Metode baru ini harus memungkinkan jawaban atas persoalan lebih lanjut : bagaimana permainan timbal balik antara nilai-nilai keagamaan dan dinamika sosio budaya setempat, suatu hal yang aktual yang menuntut keterangan lebih jelas.
Problematik  baru
Sejak tahun 1970-an Sosiologi Agama menghadapi problematik baru yang menyangkut aspek-aspek sebagai berikut :
-          Lingkup tinjauan Sosiologi Agama harus diperluas. Tegasnya tidak hanya menangani agama-agama institusional saja. Tetapi mencakup semua agama (termasuk nonkonstitusional) yang sungguh memberi pengaruh nyata atas kehidupan manusia dan masyarakatnya.
-          Masalah pengertian agama dan makna agama. Apakah dalam hal ini ada perubahan? Untuk mengatasi kesulitan ini perlu terlebih dahulu diadakan pertanyaan kepada penganut-penganut agama yang berbeda-beda apa sesungguhnya yang mereka maksud dengan agama.
-          Apabila setiap orang atau kelompok mempunyai pengertian yang jauh berbeda satu dengan yang lain, hal tersebut akan menimbulkan kesulitan baru dalam menentukan batas-batas pengertiannya.
-           Apabila pengertian baru agama sudah dirumuskan  setepat-tepatnya dalam definisi yang baru dengan sendirinya akan timbul problematika baru tentang cara pendekatannya.
o   Sosiologi tentang Gereja di Eropa
Dalam uraian diatas telah dikemukakan bahwa sosiologi agama sudah periode klasik berkembang menjadi sosiologi tentang Gereja. Untuk mengenai Sosiologi Gereja di Eropa akan diperkenalkan beberapa tokoh penting. Di Prancis. Dari negara yang sebagian beragama katolik patut disebut nama Gabriel Le Bras. Karena dialah perintis dan pendorong Sosiologi Agama ( dalam arti Gereja) di Eropa selatan. Dia tergerak oleh kedua kenyataan yang saling bertolak belakang tentang negaranya.
Untuk negara Belgi patut disebut nama J. Leclercg yang sejak tahun 1941 bergiat dalam sosiologi agama (Gereja). Dia dikenal lagi sebagai seorang pemrakarsa berdirinya kongres Internasional Sosiologi Agama 1948. Pusat kegiatannya ialah Universitas Leuven. Di Jerman. Pengantar sosiologi Agama yang lebih sistematis diterbitkan oleh Joachim Wach (1931) dan Gustave Mensching (1944). Namun keduannya masih bermutu sejarah agama dari pada sosiologi agama.
Di Nederland. Penelitian sosiografis tentang hidup religius dimulai oleh Steinmatz. Dari kehidupan agama di Nederland juga dalam mengkaji masalah “Agama dan kesadaran kelompok”. Dari negeri ini muncul suatu majalah “social kompas” dalam tahun 1950, yang kemudian mulai tahun 1960 ditingkatkan menjadi majalah internasional mengenai studi sosio-keagamaan dengan nama “social compass”. Di Itali. Dorongan pertama untuk mempelajari masalah hidup religius datang dari seorang uskup di Mantua (1935). Muncullah kemudian sebuah buku statistik umat gereja yang disusun oleh Blodrini, Filograsi.
o   Sosiologi Gereja di Amerika Serikat
Baiklah diketahui bahwa dari kalangan para sosiolog sendiri yang sungguh ahli dalam bidang ini sebagian besar tidak tertarik kepada sosiologi agama sebelum Perang Dunia II. Mereka memandang agama sebagai suatu bentuk kelambanan kultural, yang tidak “bermanfaat” untuk dipelajari, karena pengkajiannya tidak akan memberikan sumbangan yang berarti bagi pembangunan masyarakat yang rasional. Baru sesudah Perang Dunia II terdapat perubahan dalam sikap tersebut, dan minat kepada sosiologi agama mulai bertumbuh, praduga yang kurang baik mulai berkurang didesak oleh pandangan yang positif. (dan sistematis). Dorongan terbesar untuk merefleksi kehidupan agama secara sosiologis yang mendalam diberikan oleh R.K. Merton dan T. Parsons, dan ahli sosiologi ternama, yang ternayata berhasil meyakinkan bukan saja kalangan sosiolog tetapi juga kalangan Gereja.
Dari kalangan Katolik pada tahun 1938 kalangan sarjana katolik mendirikan suatu organ yang diberi nama “The American Catholic Sociological Society”. Tujuan yang ingin dicapai organ ini ada dua hal, pertama, memberikan karangan-karangan ilmiah mengenai teoro-teori sosiologis di penelitian dalam lapangan keagamaan, dan kedua sebagai sarana kontak antara para sosiolog katolik sendiri atau pada awal penerbitannya ternyata karangan-karangannya sebagian besar masih bersifat filosofis, namun dalam kurun waktu selanjutnya dapat mengubah corak itu menjadi positif empiris, sehingga majalah tersebut pada tahun 1964 berganti nama menjadi “Sociological Analysis”.
o   Kuncup-kuncup Sosiologi Agama di Indonesia
Sejalan dengan pertumbuhan Sosiologi Umum di negara kita yang masih dalam hidup permulaan maka dapat di mengerti bahwa masih terdapat kekosongan di bidang Sosiologi Agama. Hal ini disadari kalangan para ahli ilmu sosial dan tidak kurang dari Dr. Mukti Ali (bekas menteri Agama RI). Beliau menganjurkan para sarjana Indonesia supaya mengadakan penelitian dalam bidang masalah kehidupan agama.
Terlepas dari himbauan Mukti Ali sementara itu telah muncul dalam peredaran sebuah buku yang berjudul “profil pesantren” oleh Sudjoko dkk. LP3ES Jakarta (1974) dari sebuah buku lain “pesantren dan pembaharuan”. Dua buku tersebut menyingkap bentuk, kehidupan keagamaan islam dalam ruang lingkup kecil yang disebut pesantren (oleh Abdul Rahman Wahid pernah disebut sebagai subkultur) dikatakan menyingkapkan karena dalam kurun waktu cukup lama dalam pendidikan itu beserta sistem pendidikannya berjalan di luar arus pendidikan umum tertutup bagi dunia luar. Meskipun isi uraian yang disajikan secara formal tidak dapat disebut sosiologi agama dalam arti sesungguhnya namun harus diakui bahwa apa yang telah di kerjakan oleh penulis-penulisnya yang di sponsori Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) tersebut harus disambut dengan rasa gembira. Karena bagaimanapun nilainya mereka telah menanamkan benih-benih yang dapat menumbuhkan rangsangan ke arah penelitian yang diinginkan Sosiologi Agama untuk masa depan.

Dari kalangan Gereja Katolik. Langkah-langkah yang telah diambil Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta Patut disambut dengan rasa syukur. Universitas tersebut pada tahun 1972 mendirikan suatu pusat penelitian yang diberi nama Pusat Penelitian Atma Jaya (PPA) Jakarta dan diberi tugas  untuk mengadakan penelitian masalah sosial kegerejaan yang berkaitan dengan perkembangan gereja  katolik di indonesia. Tujuan tersebut dituangkan dalam beberapa program.  PPA tersebut juga bermaksud mengadakan perpustakaan dan dokumentasi khusus yang meliputi buku, laporan, karangan dan majalah yang berkenaan dengan bidang penelitian sosial kegerejaan dan bidang yang bertalian.
Di jelaskan bahwa pemerintah mempunyai tugas dan wewenang dibidang kehidupan beragama para warga negara, bukan dalam arti yang menyangkut perkembangan atau pertemuan manusia dengan tuhan, melainkan sejauh agama itu sudah merupakan fakta sosial di masyarakat indonesia. Sejauh itu maka agama dapat dipelitakan, supaya agama sebagai unsur pembangunan yang di PELITA kan dapat mengembangkan fungsinya dengan baik dan terarah.[12] Dari tinjauan singkat di atas dapat disimpulkan bahwa dibidang Sosiologi Agama di negara kita baru di dapati kuncup-kuncup kecil yang mudah-mudahan dapat berkembang menjadi bunga yang menghasilkan buah yang berarti.









BAB III
PENUTUP
3.1     Kesimpulan
            Sosiologi secara umum adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat secara empiris untuk mencapai hukum kemasyarakatan yang seumum-umumnya. Sosiologi agama merupakan studi tentang fenomena sosial dan memandang fenomena agama sebagai fenomena sosial. Sosiologi agama selalu berusaha untuk menemukan prinsip-prinsip umum mengenai hubungan agama dengan masyarakat. Ia adalah suatu cabang sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti, demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.

3.2     Saran
            Dalam kepenulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan bahan atau kekurangan di berbagai hal. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik atau saran yang membangun untuk penulis agar kiranya dapat memberi semangat kepada penulis untuk lebih baik lagi dalam kepenulisan selanjutnya








DAFTAR PUSTAKA

 Hendropuspito, Sosiologi Agama, Yogyakarta, Kanisius, 1983                   
Kahmad, Dadang, Sosiologi Agama, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2006
http://www.google.com




[1] http://orthevie.wordpress.com/2010/02/13/pengertian-tempat-fungsi-dan-aliran-aliran-serta-metode-penelitian-dalam-sosiologi-agama/
[2] http://orthevie.wordpress.com/2010/02/13/pengertian-tempat-fungsi-dan-aliran-aliran-serta-metode-penelitian-dalam-sosiologi-agama/
[3] Drs. D. Hendropuspito, O.C. Sosiologi Agama
[4] Dr. H.Goddijn.Dr.W.Goddijn,Sosiologie van kerk en Godsdienst, utrecht,Antwerpen. P. 36
[5] Drs. D. Hendropuspito, O.C. Sosiologi Agama, hlm.8.
[6] Max Weber. The Sociology Of Religion, trans, by Ephraim fischoff Beacon press Boston : 1963
[7] Emile Durkheim, The Elementary Forms Of  the Religious Life, trans. By. Joseph ward swain (Glencoe, III : The Free Press, 1954 : George Allen & unwin Ltd)
[8] Drs. D. Hendropuspito, O.C. Sosiologi Agama, hlm. 9.
[9] Drs. D. Hendropuspito, O.C. Sosiologi Agama, hlm. 10-11.
[10] Disarikan dari laporan Een Kongres van Godsdienst  Sociologen dalam Theologie en Pastoral No. 5, 1973 oleh A.L Ryken- Hoeven, G, Dekker, hlm. 293-301
[11] Drs. D. Hendropuspito, O.C. Sosiologi Agama, hlm.15-21
[12]  Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama-Departemen Agama- telah menerbitkan 2 buku yang dapat dipandang sebagai karya ilmiah Sosiologi Agama.